Di pertengahan tahun ini, saya memulai kembali mengalokasikan dana hiburan untuk menonton film-film yang menarik perhatian saya di bioskop. Beberapa tahun ke belakang rasanya mulai jenuh dimana seluruh dana hiburan hanya dikeluarkan untuk satu entitas grup idola Jakarta.
Film Sore: Istri dari Masa Depan adalah salah satu film yang menarik perhatian saya karena cukup ramai diperbincangkan. Dengan keyakinan bahwa karya Yandy Laurens selalu memenuhi ekspektasi dan rasa kagum saya pada sosok Sheila Dara mendorong saya untuk memesan tiket bioskop di mal dekat kantor, di jam setelah pulang kerja.
Di tulisan ini, saya mencoba menuliskan ekspresi kekaguman yang masih tersimpan dengan baik di memori otak saya tanpa spoiler. Terlalu sempurna untuk sebuah film bisa memberi kesan dan tersimpan cukup lama sehingga perlu saya abadikan dalam tulisan. Mari kita mulai!
Sinematografi yang Mengagumkan!

Sebagai mantan videografer di masa SMA, baik sebagai dokumenter kegiatan dan jurnalis sekolah ataupun freelance, setiap menonton film di bioskop saya senang memperhatikan detail-detail terkait pengambilan gambar sebuah film.
Jika kalian pernah menyaksikan trailer film ini, beberapa shoot-nya sangat terbayang. Lanskap megah dengan aurora yang terlukis cantik di langit mampu ditangkap oleh Dimas Bagus Triatma Yoga selaku sinematografer. “Gambar indah” adalah sesuatu yang bakal secara rutin penonton temui sepanjang dua jam durasi filmnya.
Sejak pertama kali menonton film yang disutradai oleh Yandy Laurens yaitu Keluarga Cemara, saya sangat percaya bahwa detail-detail angle shot yang diberikan akan sangat memanjakan mata. Dan itu terpenuhi.
Shout-out untuk Mas Dimas sebagai DOP di film ini. *kiss chef*
Daya Magis Pasca Keluar dari Mal
Sebagai penonton webseries-nya juga, Film ini bukan hanya sekedar mengulang cerita, tapi membawa kisah Sore dan Jonathan ke level yang lebih dalam serta kompleks. Konflik yang diangkat sebenarnya sangat sederhana dan relate dengan kehidupan pasangan (sayanya mungkin belum sejauh itu).
Sisi perempuan yang yakin bisa membuat pasangannya menjadi lebih baik, berhadapan dengan lelaki yang sebenarnya gak suka hidupnya diatur-atur. Ini menjadi benang merah yang mengikat seluruh ceritanya.
Untuk menggambarkan film ini, rasanya sangat beragam. Babak pertama terasa manis dan ringan, babak kedua penuh patah hati. Sementara itu, babak ketiganya benar-benar mind blowing. Perpindahan mood ini bikin penonton dibuat terus penasaran dan terlibat secara emosional sampai akhir.
“Gak masuk akal.” Hanya satu kata itu yang mampu mewakili menyaksikan perubahan ekstrem yang terjadi setelah adegan Pancarona. Satu kata itu pula yang terus muncul dalam benak sepanjang sisa cerita.
Saya sendiri tidak menangis, bahkan saat credit muncul saya hanya diam ternganga melihat plot yang disajikan.
Efek magisnya baru terasa keesokannya, saat playlist rekomendasi Spotify yang saya putar memberikan lagu “Terbuang Dalam Waktu”-nya Barasuara di tengah jam kerja. Isi pikiran secara otomatis seperti menayangkan ulang kembali adegan ter-gong di film tersebut.
Dan alasan artikel ini ditulis karena itu.
“Standing Applause” untuk Sheila Dara

Saya adalah orang yang menonton serial webseries-nya di Youtube beberapa tahun silam, dimana saat itu saya masih menjadi siswa SMA. Men-download episode yang baru naik saat pulang sekolah dan membawanya pulang. Menyaksikan satu per satu episode di kegelapan kamar persis sebelum tidur.
Dengan pengalaman yang demikian, tentu sosok Tika Bravani sangat melekat dan seperti tidak bisa dilepaskan sebagai sosok Sore. Ekspektasi saya pun tidak jauh dengan webseries. Namun, kemampuan akting dan chemistry-nya dengan Dion Wiyoko tidak perlu diragukan.
Sebagai fans-nya Sheila Dara sejak jadi host di Breakout NET. TV, saya cukup kagum dengan bagaimana dia mampu men-delivery pesan yang ingin digambarkan pada sosok Sore. Penampilannya menghadirkan kesegaran sendiri dan berbeda dari versi web series-nya. Ia berhasil memerankan sosok Sore yang mandiri dan kuat, tapi tetap memancarkan sisi feminin dan elegan.
Bahkan di satu titik, saya melihat sosoknya memiliki aura kecantikan yang berbeda saat memerankan Sore.
Plot dan lokasi cerita yang berbeda lumayan signifikan tak mengurangi pengalaman dalam menonton film ini. Baik Italia maupun Kroasia memberikan kesan yang memanjakan mata. Meskipun dalam logika akal saya mempertanyakan alasan dipilihnya Kroasia yang sepertinya tidak terlalu populer sebagai destinasi wisata bagi masyarakat Indonesia.
Banyak hal yang memancing logika dan terkesan tidak masuk akal, tapi buat apa menuntut sebuah film fiksi harus memenuhi logika manusia.
Penutup
Sebagai sosok yang tidak memiliki kisah serupa Sore di kehidupan nyata (bukan tentang time travel-nya, tapi soal hubungan romansanya), saya mungkin tidak memiliki interpretasi berlebihan mengenai perasaan Sore ataupun Jo.
Namun, saya bisa merasakan bahwa film ini bisa menjadi pengingat bahwa mengubah seseorang, apapun relasinya, adalah sesuatu yang sulit kecuali dari dirinya sendiri.
Sejak memulai kembali rutinitas menonton film di bioskop, saya suka memperhatikan setiap analisis dan opini yang ditulis oleh orang-orang yang menonton film, tak terkecuali penonton film Sore. Membahas teori relativitas waktu, 5 fase kemarahan, hingga metode dakwah.
Isi kepala yang berbeda-beda memberikan banyak gambaran bagaimana sebuah karya bisa diinterpretasikan. Sama dengan apa yang disampaikan oleh sang sutradara sendiri bahwa cara menikmati film ini sendiri bisa dinikmati berbeda-beda menggunakan perspektif dan pengalaman masing-masing penonton.
Saat tulisan ini selesai, saya ditemani oleh suara outro Pancarona yang ikonik. Seperti terus mengulangi momen, memperbaiki, dan mengulangi kesalahannya lagi. Terus berputar hingga menemui titik jenuh. Namun ia tak menyerah, hingga waktu memintanya cukup untuk melangkah.