Fandom Ladang Engagement: Tentang Stereotip dan Post-Truth

Platform media sosial X, dulu disebut sebagai Twitter, merupakan sebuah media sosial berbasis teks yang cukup populer di dunia saat ini. Format tweet yang singkat dan padat cocok untuk berbagi pembaruan cepat dan ringkas.

Platform ini memungkinkan pengguna terhubung dengan audiens yang lebih luas, baik secara lokal maupun global. Pengguna dapat berinteraksi, berbagi minat, dan membangun komunitas dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa.

Namun, terdapat sisi negatif yang menghantui platform satu ini, yaitu banyaknya fanwar yang memiliki kemungkinan menjadi salah satu catatan sejarah. Fanwar, atau perang antar penggemar yang cukup sering terjadi di jagat K-Pop, meskipun tidak terbatas pada ranah fandom penggemar musik asal Korea Selatan namun bersifat universal. Salah satunya adalah fandom JKT48, atau akan kita sebut sebagai grup idola Jakarta

Tulisan ini diinisiasi setelah segala bentuk keributan di media sosial awal bulan lalu. Sebuah titik keributan yang bermula dari sebuah cuitan perbandingan statistik yang tidak menyinggung siapapun, hingga muncul sekelompok akun yang mencoba menggeser isu yang dibahas sehingga memicu keributan.

Ada sebuah tweet yang pernah lewat beranda yang penulis amini hingga hari ini saat melihat fenomena fandom grup idola Jakarta, yang berbunyi seperti di bawah ini:

Mengusik sebuah fandom dengan tingkat keaktifan tinggi dengan pujian ataupun cacian adalah langkah yang pasti menarik atensi, baik itu konteks baik ataupun buruk.

Ketika menjumpai fanwar antar penggemar fanatik di jagat media sosial khususnya Twitter/X, ada beberapa cara yang bisa kita pelajari. Spesifik membahas tentang fandom grup idola Jakarta, analisis sederhana ini bisa membantu untuk menentukan posisi sata terjadi fanwar ataupun war melawan opini social justice warrior (SJW).

Di luar topik war para pendukung grup idola Jakarta dengan SJW yang membahas itu-itu saja, terdapat beberapa fenomena menarik yang bisa kita pahami bersama. Tentang bagaimana fanwar ini telah beralih menjadi operasi pengalihan isu, stereotipe komunitas di media sosial, hingga bagaimana para pendukung grup idola ini membela idolanya hingga melupakan aspek-aspek rasional.

Meskipun penulisan artikel kali ini sangat menguras energi, tapi rasanya menarik membahas fenomena terkait apa yang terjadi di fandom ini ketika menghadapi stigma, generalisasi, ataupun pujian yang ditujukan kepada grup idola yang didukung ataupun spesifik ke fandomnya.

Stigma dan Generalisasi Tak Berujung

Mari kita mulai pembahasan yang akan sangat panjang ini dengan memahami fenomena generalisasi dan bagaimana stigma bisa terbentuk, khususnya di dunia maya dan platform Twitter/X saat ini.

Menurut Silverman (2015), hoaks merupakan sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, tetapi “dijual” sebagai kebenaran. Hoaks bukan sekadar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, tetapi disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta.

Salah satu jenis konten hoax yang sering muncul adalah bentuk satir atau parodi, dibuat dengan tidak berniat untuk merugikan, tetapi berpotensi untuk mengelabui. Satir tidak termasuk konten yang membahayakan. Akan tetapi, sebagian masyarakat masih banyak yang menanggapi informasi dalam konten tersebut sebagai sesuatu yang serius dan menganggapnya sebagai kebenaran. Hal ini pernah penulis bahas pada artikel mengenai masifnya konten Freya Grad di tahun 2023.

Dalam pembahasan kita, berita yang bermuatan unsur ‘dugaan’ termasuk dalam jenis rumor yang tidak berdasar bukti konkrit, namun lebih pada penilaian atau opini subjektif yang diduga sebagai fakta. Umumnya konten ini bermuatan gosip, tuduhan hingga fitnah kepada seseorang atau kelompok tertentu. Tentu sebagai pendukung grup idola Jakarta, pembaca sangat familiar dengan tuduhan pedofilia enabler, cabul, om-om sange, dan lain-lain.

Dalam pembahasan kali ini, kita akan coba berfokus bagaimana berita tidak terverifikasi ini menjadi sebuah stigma yang melekat pada penggemar grup idola Jakarta. Termasuk juga mengapa wota bisa menjadi ladang engagement yang sangat kuat dan posisinya “disetarakan” dengan penggemar salah satu boyband asal Korea Selatan atau penyanyi populer asal Amerika Serikat.

Ada dua kasus besar yang menjadi perbincangan panas di linimasa X selama dua tahun terakhir, yang bisa kita sebut sebagai “kasus toilet fX Sudirman” dan “kasus QRT IndoPopBase” yang akan coba kita bahas.

Sebagai gambaran singkat, pada Juli 2024 lalu, sebuah akun X populer yaitu @unmagnetism menyebarkan sebuah screenshot dari website HarianMassa.id yang membahas temuan petugas kebersihan mal fX Sudirman di toilet pasca-pertunjukan JKT48. Sebuah screenshot judul yang no mention ini jelas menimbulkan pembahasan panas mengenai stigma dan generalisasi buruk terhadap grup idola ini beserta para pendukungnya.

Stigma buruk ini sebenarnya sudah lama menjadi gosip bawah tanah, namun mulai menyeruak saat Pandji Pragiwaksono melalui video YouTube-nya membagikan pengakuan seseorang yang mengaku sebagai penggemar grup idola Jakarta tersebut.

Pernyataan ini sempat didukung oleh berita burung yang menyebut salah satu mantan personilnya sendiri pernah mengatakan bahwa ia menemukan “barang serupa” di toilet teater. Masalahnya, toilet di dalam teater sendiri hanya bisa diakses oleh staf internal maupun member. Penonton teater jika ingin pergi ke toilet harus lari ke toilet mal yang posisinya berseberangan dan harus berlari memutar.

Keramaian dari akun Unmagnetism ini sempat dibantah oleh pihak manajemen mal fX Sudirman, sayangnya hingga tulisan ini dibuat konfirmasi itu hanya sebatas muncul pada reply beberapa orang yang mencoba mengonfirmasi via DM.

Bagaimana dengan manajemen grup idolanya? Seperti biasa, rasanya kita perlu sadar bahwa mereka diam seribu bahasa. Seolah tidak terjadi apa-apa.

Kejadian kedua terjadi pada awal Juni 2025. Sebuah tweet dari akun IndoPopBase yang awalnya menampilkan informasi bahwa monthly listener grup no na telah melewati JKT48. Sebuah tweet yang harmless dan QRT para pendukung pun hanya sebatas “menyenggol” manajemen grup idola tanpa menjelekkan grup no na.

Namun, menjadi masalah saat banyak akun X yang pembahasannya melenceng dan kembali membahas stigma buruk, mulai dari tuduhan pedofilia hingga muncul istilah “member korban grooming”

Sayangnya, twit awal yang mulanya harmless malah direspon negatif dan “dipelintir” oleh IndoPopBase dengan menganggap keramaian bermula dari “orang dewasa marah-marah karena statistik”. Di beberapa twit pendukung grup, mereka hanya meminta agar IndoPopBase mengakui dan tidak diam atas komentar merendahkan dan melecehkan yang muncul.

Dua hal itu terjadi karena stigma dan generalisasi yang ditujukan pada sekelompok orang tertentu, dalam hal ini adalah para pendukung grup idola Jakarta. Generalisasi adalah proses membentuk gagasan atau kesimpulan umum dari suatu kejadian, hal, atau fenomena tertentu. Secara sederhana, generalisasi adalah cara menyimpulkan suatu prinsip atau tren dari sejumlah fakta atau data yang terbatas.

Ketika kita membuat generalisasi, kita seringkali mengambil kesimpulan yang terlalu jauh berdasarkan data yang terbatas. Misalnya, menggeneralisasi bahwa semua anak muda adalah malas berdasarkan pengalaman negatif dengan beberapa individu muda adalah contoh kesalahan logis. Setiap kelompok memiliki variasi yang luas dalam perilaku, kemampuan, dan karakteristik. Oleh karena itu, segala bentuk generalisasi tidak akurat dan tidak adil.

Generalisasi juga cenderung mengabaikan perbedaan individual di antara anggota kelompok yang digeneralisasi. Setiap individu unik dan memiliki karakteristik, pengalaman, dan latar belakang yang berbeda. Ketika kita terjebak dalam generalisasi, kita gagal mengakui perbedaan tersebut dan melihat orang sebagai individu yang berbeda-beda. Ini dapat merugikan individu tersebut dan menyebabkan ketidakadilan dalam penilaian dan perlakuan.

Generalisasi yang tidak tepat dapat memperkuat stereotip yang sudah ada dalam masyarakat. Stereotip adalah pandangan sempit dan seringkali tidak akurat tentang kelompok tertentu. Ketika kita terus-menerus mengulang generalisasi yang salah, kita secara tidak langsung memperkuat pandangan negatif dan bias terhadap kelompok tersebut. Hal ini dapat berdampak negatif pada cara kita berinteraksi dengan orang-orang dari kelompok tersebut dan membatasi kesempatan mereka untuk berkembang.

Salah satu bentuk generalisasi yang paling umum adalah stereotip, yaitu keyakinan atau pendapat yang umumnya dianggap benar tentang karakteristik atau perilaku kelompok tertentu. Stereotip sering kali dipengaruhi oleh prasangka dan dapat menyebabkan diskriminasi, ketidakadilan, dan ketidaksetaraan. Misalnya, stereotip yang mengasumsikan bahwa semua anggota suatu kelompok etnis memiliki sifat-sifat negatif tertentu dapat menghasilkan perlakuan yang tidak adil dan merugikan mereka secara kolektif.

Stigmaisasi Fandom dan Komoditas Engagement

Dalam kehidupan ini setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Ada orang yang memiliki pemikiran positif. Dan ada juga orang yang mengalami pemikiran negatif. Mereka yang memiliki pemikiran, cara pandang, hingga kepercayaan negatif ini lebih banyak disebut dengan stigma.

Hadirnya stigma diciptakan oleh masyarakat tentang sesuatu yang terlihat menyimpang ataupun adanya hal aneh yang tak sewajarnya dalam kehidupan ini. Masih banyak hal-hal menarik yang bisa dibahas seputar stigma itu sendiri.

Penyebab munculnya stigma sangat beragam, seperti kurangnya pengetahuan dalam diri seseorang terkait dengan suatu hal. Bisa dibilang jika pengetahuan bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pendidikan, pekerjaan, umur, lingkungan serta sosial budaya.

Pada “kasus toilet fX Sudirman”, isu ini pertama kali diangkat oleh sebuah akun yang bahkan apatis dengan grup idola Jakarta ini. Saat itu, konten twitnya hanya sebatas guyonan dan komentar mengenai tim nasional sepak bola. Kemudian isu serupa diamplifikasi oleh akun-akun populer lain seperti SosmedKeras.

Indikasi penggunaan buzzer makin terasa setelah beberapa media yang menulis berita ini adalah laman berita yang tidak terverifikasi dan memiliki traffic sangat rendah. Hal ini pernah dianalisis oleh akun X @Hanif_AF pada utas yang telah dicantumkan di sub-pembahasan sebelumnya. Masifnya akun bot Twitter yang memiliki template ala buzzer yang “menyudutkan” grup idola Jakarta juga muncul. Template yang familiar, bukan?

Setelah munculnya gerombolan twit seperti screenshot di atas, penulis memiliki sebuah hipotesis (yang mungkin diamini oleh banyak penggemar grup idola ini) bahwa memancing keributan fandom skala nasional (dalam hal ini menggunakan grup idola Jakarta) dapat dijadikan operasi pengalihan isu terkait isu-isu politik nasional.

Di Juli 2024, isu ini muncul berbarengan dengan kasus Ibukota Nusantara (IKN) dimana muncul berita bahwa kondisi air dan infrastruktur pendukung belum siap untuk pelaksanaan upacara perayaan Hari Kemerdekaan RI di tanggal 17 Agustus.

Sedangkan pada “kasus QRT IndoPopBase” yang terjadi pada awal Juni lalu, keributan ini muncul berbarengan dengan ramainya isu pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat. Keributan ini muncul beberapa hari setelah salah satu anggota Greenpeace menyuarakan penolakan tambang di Raja Ampat pada konferensi “Indonesia Critical Minerals” pada 3 Juni 2025 di hotel Pullman, Jakarta.

Terlepas dari apapun asumsi motif “kasus toilet fX Sudirman”, seperti dugaan persaingan mal kawasan Senayan, persaingan media (saat ini grup media IDN merupakan stakeholder grup idola Jakarta), atau aspek persaingan grup. Isu yang ramai di media sosial dapat dikontrol dan diarahkan, ditambah bagaimana dalam situasi hari ini sangat sulit untuk hanya berfokus pada satu isu dan segala hal sering membutuhkan viralitas untuk mendapatkan atensi.

Fandom ini memang layak disebut sebagai ladang untuk mencari atensi dan angka engagement yang legit. Hal sesederhana info tidak jelas saja bisa sampai dikulik, seperti temuan sebuah video Tiktok yang dimana pemilik akunnya mengaku putus dengan pacarnya karena kalah dengan member aktif grup idola tersebut.

Ada satu pandangan penulis yang mungkin terdengar tidak mengenakkan, bahwa kita sebagai penggemar pada dasarnya memang angka untuk bisnis yang lebih besar. Tidak hanya di pitching deck milik Utomo Brothers (pendiri IDN Media), namun juga bagi media-media mainstream atau influencer haus angka. Lihatlah contoh postingan Tiktok di atas, hal clickbait saja bisa terpancing apalagi berita “receh” dari media-media mainstream.

Banyak yang merasa suara mereka diperhatikan, padahal mungkin tidak juga. Media hanya peduli engagement rate di salah satu berita mereka naik, dan penulisnya meraih KPI yang harus dicapai untuk mendapatkan gaji bulanan.

Bagaimana Strategi Komunikasi Manajemen?

Mari cukupkan mengenai operasi buzzer menggunakan ladang engagement bernama “wota”. Selanjutnya, adakah jawaban untuk membantah stigma-stigma yang kadung terbentuk dari misinformasi yang terus digaungkan itu?

Beberapa tudingan dan stereotip yang dialamatkan pada grup idola Jakarta sebenarnya pernah dijawab langsung oleh pihak Dentsu Media sebagai stakeholder grup ini. Sebelum liputan Mata Najwa mengenai Sousenkyo JKT48 tahun lalu, Mbak Nana (panggilan akrab Najwa Shihab) pernah meliput mengenai JKT48 di acara yang sama saat acara ini masih disiarkan di kanal televisi Metro TV di tahun 2015 silam.

Harris Thajeb, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Direktur di Dentsu Group Indonesia, pada liputan Sudut Pandang Metro TV berjudul “Demi Sang Idola” yang tayang pada 18 Januari 2015 menyebutkan bahwa keterlibatan mereka di grup ini bukan atas dasar keterpaksaan, tapi keinginan dari mereka untuk belajar, berlatih disiplin, dan bertemu dengan teman-temannya. Keseharian di grup ini adalah sebuah journey untuk menjadi manusia yang lebih baik. Selain itu, adanya dukungan orang tua dan pemberian ruang untuk pendidikan juga menjadi bagian dari pengembangan diri member di grup idola. 

Tuduhan mengenai “fans om-om” dapat dibantah melalui survei yang dilakukan IDN Times pada Juli 2020 silam. Meskipun mayoritas responden merupakan laki-laki, namun rentang usia penggemar paling banyak berada pada rentang dewasa awal. Laporan lengkapnya dapat dibaca di tautan ini.

Bagaimana manajemen merespon isu hari ini? Melihat dari kejadian “kasus toilet fX Sudirman” dan “kasus QRT IndoPopBase” yang telah kita bahas, penulis memiliki hipotesis bahwa manajemen terlalu menerapkan “strategic silence”. Sebuah taktik komunikasi dan retorika yang melibatkan penahanan ucapan secara sengaja, dengan tujuan tertentu. Ini bukan sekadar diam, melainkan jeda yang dihitung, penolakan respons verbal yang disengaja untuk mencapai tujuan tertentu.

Langkah ini terlihat sangat bijak jika menengok stigma awam yang masih berkutat pada isu-isu yang sudah pernah dijawab di tahun 2015. Namun, di sisi lain menimbulkan pertanyaan karena bahkan setelah beberapa kali mencoba rebranding dan adanya akuisisi dari IDN sebagai salah satu perusahaan media terbesar di tanah air saat ini, tidak ada perubahan berarti dari aspek komunikasi publik. 

Ekspektasi penulis ketika IDN mengakuisisi grup idola ini, salah satunya adalah eksposur media yang dimiliki oleh pengakuisisi. Sayangnya hal tersebut masih belum terwujud. Dengan kemudahan akses reporter ke manajemen, penulis pikir akan lebih mudah mengulik prestasi atau kegiatan yang dijalankan oleh grup idola Jakarta.

Nyatanya, reporter IDN Times masih banyak berkutat di tren pembahasan media sosial, tak jarang juga terjebak pada berita negatif yang malah “menyerang” talent sendiri seperti yang terjadi saat kasus Amanda dan Indira di pertengahan 2024 lalu. 

https://www.idntimes.com/hype/entertainment/kronologi-masalah-amanda-dan-indira-jkt48-sudah-minta-maaf-00-19lfc-36tlgn

Salah satu artikel berita dari IDN Times yang layak diapresiasi adalah pernyataan resmi Ryo Kenjo, Managing Director JKT48, terkait dengan meninggalnya salah satu penonton event JKT48 Summer Tour 2023 di Semarang. Sisanya hanya sebatas mengejar ombak terhadap trending di media sosial.

https://www.idntimes.com/hype/entertainment/pernyataan-resmi-jkt48-terkait-meninggalnya-fans-di-konser-semarang-00-mvjcw-pmf285

Tanpa membandingkan dengan berita yang ditulis oleh Dhimas Ginanjar, yang saat artikel ini ditulis menjabat sebagai Vice Director Jawa Pos, dapat memberikan sisi lain dari member/staf dalam hal-hal yang terjadi/dikerjakan oleh JKT48. Misalkan, dalam artikelnya yang membahas Shania Gracia yang menjadi senbatsu single ke-66 AKB48, sister group-nya asal Jepang.

https://www.jawapos.com/music-movie/016094051/tak-mau-mengecewakan-gracia-jkt48-ungkap-rasa-bangga-tampil-bareng-member-legendaris-akb48

Dengan ketiadaan komunikasi publik yang baik dari manajemen grup idola dan rasa naif para pendukung yang masih melihat fandom berada dalam kondisi ideal untuk semua, sepertinya stigma dan generalisasi yang dilancarkan para pembawa opini di media sosial tidak akan berubah, atau malah semakin menguatkan pandangan mereka melalui sikap kita saat merespons tuduhan mereka.

Pesan untuk Fandom: Dunia Tidak Berputar Mengelilingimu

Pada “kasus QRT IndoPopBase”, banyak penggemar dan pendukung menganggap bahwa fandom sudah berjalan semestinya. Banyak hal positif yang bisa dipublikasikan dan diramaikan, namun malah berita palsu dan misinformasi yang terus berulang belasan tahun yang ramai diperbincangkan. Sayangnya, cara pandang semacam ini bisa mengaburkan fakta yang memang tidak sempurna di fandom.

Post-truth, atau pasca kebenaran, adalah istilah yang merujuk pada suatu keadaan di mana fakta objektif memiliki pengaruh yang lebih kecil dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Singkatnya, post truth adalah era di mana kebohongan atau informasi yang tidak benar dapat menyamar menjadi kebenaran, terutama melalui media sosial dan platform digital. 

Representasi awam melihat fandom ini bukan sosok-sosok “teladan” fandom seperti tiga orang penggemar yang dipilih tim redaksi Mata Najwa dalam liputannya mengenai JKT48 di 2024 lalu atau para pengurus fanbase yang mendedikasikan waktunya untuk mendukung oshimen dengan tulus, tapi justru akun-akun meresahkan semacam akun “marga idol”, entah yang berawalan kopi atau polisi, beserta dedengkotnya.

Jika fandom pernah bersuara untuk melawan individu atau kelompok yang dianggap bermasalah, belum tentu orang-orang awam dan mereka yang dasarnya sudah memiliki kebencian akan mau memahami dan mencari fakta. Mereka hanya akan melihat dari apa yang mereka lihat, tentu saja dengan algoritma yang mendukung perputaran konteks negatif.

Sayangnya, itu memihak pada akun-akun yang dianggap sebagian orang “meresahkan”, dan ada sekelompok manusia lain yang mendukung akun-akun ini, berdalih sebagai sosok pahlawan penegak peraturan dan kebenaran. Menjadi representasi dari fandom yang sudah tidak berjalan ideal ini.

Justru merekalah yang menampilkan sisi hipokritnya. Sering menyampaikan agar member “taat” peraturan menurut tafsir mereka, tapi tidak takut untuk berkomentar cabul tentang member. Kesalahan berpikir ini yang pada akhirnya diungkit oleh awam dan menjadi “senjata” untuk menyerang balik argumentasi pendukung yang membela fandom atau grupnya.

Red herring adalah kesesatan logika yang mengalihkan perbincangan dari permasalahan utama untuk membuat pembaca atau penonton mencapai kesimpulan yang salah. Kesesatan logika ini masuk ke dalam kelas kesesatan relevansi yang luas.

Hal ini seringkali digunakan pengguna media sosial, khususnya di Twitter/X, untuk menyerang argumentasi pengguna lain dengan menggunakan jejak di masa lalu yang seolah meng-invalidasi tindakan atau opininya. Umumnya penggunaan logical fallacy ini menggunakan meme “This You?” atau menunjukkan jejak media sosial dari lawan bicara yang tidak sesuai dengan opininya. Cara main ini mengarahkan pembaca atau penonton ke arah yang salah sehingga fokus perdebatan melebar ke aspek masa lalu dan seolah pemberi opini harus “suci”

Dengan menerapkan label ‘pedofil’ tanpa pandang bulu berisiko mengaburkan kompleksitas pelecehan seksual anak. Pemahaman tentang pelecehan seksual anak, berdasarkan bukti yang tersedia, sangat penting jika pelecehan ingin dicegah dan ditanggapi dengan cara yang efektif.

Dengan pemahaman yang jelas tentang indikator pelecehan seksual anak, para profesional berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengenali dan memberikan masalah perlindungan.

Bagi penulis, kita masih bisa mendiskusikan soal eksploitasi anak yang dilakukan manajemen atau membahas bagaimana ruang aman yang ideal untuk para member sebagai perempuan. Namun, mengenai pedofilia masih terjadi banyak perdebatan di kalangan akademisi, baik dari sisi biologi maupun sosial. Terlalu berani untuk mengambil sebuah kesimpulan dari hal yang tak kita pahami lebih dalam.

Kita perlu mengakui bahwa di dalam komunitas fandom pun tidak sepenuhnya bersih, mungkin banyak juga yang sebenarnya adalah pelaku masih bebas dan “ditutupi”. Namun bukan berarti ini adalah cerminan keseluruhan. Kita perlu mengakui situasi yang tidak ideal, tapi kita perlu menolak generalisasi pandangan seperti ini. Bukan sekedar untuk fandom, tapi soal cara pandang kita kepada banyak hal di sekitar.

Satu lagi. Dengan rasa semangat para pendukung ini membela idola yang didukung ini, para pendukung ini mungkin perlu membaca pesan terselip tentang kemungkinan kepentingan agar kita terus mempergunjingkan hal tidak penting dan teralihkan dari pengawalan isu-isu publik yang diselewengkan.

Deindividuasi dan Racun Media Sosial

Deindividuasi, menurut Festinger, Pepilone, & Newcomb, adalah sebuah keadaan dimana seseorang kehilangan kesadaran akan diri sendiri (self awareness) dan kehilangan pengertian evaluative terhadap dirinya (evaluation apprehension) dalam situasi kelompok yang memungkinkan anonimitas dan mengalihkan atau menjauhkan perhatian dari individu.

Di media sosial, anonimitas memungkinkan individu untuk terlepas dari identitas nyata mereka, mengurangi rasa tanggung jawab, dan bahkan menghilangkan empati terhadap orang lain. Kurangnya interaksi tatap muka dan konteks dalam komunikasi online dapat membuat orang lain terlihat seperti objek dan bukan manusia, sehingga lebih mudah bagi individu untuk menyebarkan ujaran kebencian tanpa mempertimbangkan dampaknya.

Melalui dua alasan di atas, dapat disimpulkan bahwa rasa tidak percaya diri akan membawa seseorang memiliki sikap mendominasi yang mana akan mendorong seseorang untuk menyebarkan ujaran kebencian. Sebab, mereka akan melepaskan rasa tidak nyaman dalam diri mereka dengan menjatuhkan orang lain. Apalagi, jika hal itu dilakukan secara daring dan dengan identitas anonim.

Jika fandom ini sudah terlalu banyak memberikan racun dalam pikiran dan keseharian kita, saatnya keluar dan mencari kesembuhan yang sesungguhnya. Berlepas diri dari tanggung jawab sebagai komunitas. Bukankah yang membuat kita sulit lepas dari lingkaran ini adalah rasa sayang parasosial kepada oshimen kita?

Kita perlu sadari, banyak hal tidak bisa kita kendalikan. Dalam konteks citra perusahaan, bukankah perusahaan adalah pemegang utama kewajiban untuk menjaga namanya sendiri? Mengapa malah konsumennya yang dengan sukarela mengorbankan harga dirinya demi membela “produk” yang dijual sedangkan jajaran petinggi hanya berdiam diri tanpa aksi seraya menuduh kritikan sebagai tindakan tidak kooperatif?

Written by