Fenomena Interaksi Parasosial pada Fandom Grup Idola

Dalam Rubrik

,

ditulis oleh

Interaksi antara idola dan penggemar di industri hiburan modern, khususnya grup idola seperti JKT48, telah berkembang melampaui sekadar mengagumi karya. Banyak penggemar merasa memiliki hubungan yang dalam dan personal dengan para anggota, meskipun interaksi mereka sangat terbatas. Fenomena ini, yang dikenal sebagai interaksi parasosial, menjelaskan mengapa seseorang bisa merasa begitu dekat dengan figur publik yang belum pernah mereka temui secara langsung. Kedekatan yang dirasakan ini menciptakan ikatan emosional yang kuat dan sering kali menjadi inti dari pengalaman menjadi seorang penggemar.

Fenomena parasosial ini sangat terlihat dalam ekosistem fandom JKT48. Para penggemar menghabiskan waktu, energi, dan uang untuk mengikuti setiap kegiatan idola mereka, mulai dari menonton pertunjukan, membeli merchandise, hingga berpartisipasi dalam sesi handshake. Semua ini dilakukan untuk memupuk perasaan akrab, seolah mereka adalah bagian dari kehidupan sang idola. Perasaan ini bisa memberikan dampak positif, seperti rasa kebersamaan dan dukungan, namun juga bisa berpotensi menimbulkan masalah ketika batasan antara realitas dan fantasi menjadi kabur.

Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena parasosial di kalangan penggemar JKT48. Kita akan membahas bagaimana interaksi ini terbentuk, mengapa para penggemar begitu terikat secara emosional, dan apa saja dampak positif dan negatif yang mungkin timbul dari hubungan satu arah ini. Dengan memahami lebih dalam tentang parasosial, kita bisa melihat sisi lain dari budaya fandom yang selama ini mungkin tidak terlalu disadari.

Memahami Interaksi Parasosial

Interaksi parasosial merupakan suatu interaksi sosial yang terjalin antara individu dengan artis atau tokoh media dan terjadi seperti interaksi sosial secara langsung. Hal ini disebabkan karena otak manusia memproses pengalaman melihat melalui media sama seperti “pengalaman langsung”, individu secara khusus bereaksi terhadap artis yang mereka sukai seperti yang mereka lakukan terhadap orang yang secara nyata ada di depan mereka.

Konten-konten dunia hiburan yang semakin beragam membuat penonton tidak hanya dapat melihat para artis menunjukkan keahliannya, tetapi juga mengenal dan mengetahui kehidupan pribadi para artis tersebut. JKT48 hadir dengan konsep “idola yang dapat ditemui” yang membuat para penggemarnya memungkinkan untuk berinteraksi secara langsung dengan anggota JKT48. Hal tersebut secara tidak langsung membuat para penggemar JKT48, membentuk kelekatan dengan anggota JKT48 favoritnya.

Fenomena “Stalker” (Studi Kasus Stalker Shani Indira tahun 2020)

Kalau Shani suka sama gue, gue suka sama Shani. Lu mau apa?

Jika teman-teman familiar dengan kata-kata di atas yang diucapkan oleh seorang laki-laki yang saat itu merupakan “stalker” Shani di apartemennya pada Oktober 2020 lalu, anda mungkin sudah mendengar salah satu kasus penguntitan yang dialami oleh member JKT48. Tapi, apa itu stalker?

Stalker (atau penguntit) adalah seseorang yang secara ilegal mengikuti dan mengawasi orang lain dengan obsesi, berusaha mendapatkan kedekatan atau informasi pribadi tanpa izin. Tindakan ini sering dilakukan melalui observasi, kontak langsung, atau melalui media sosial.

Ciri-ciri stalker adalah mereka tertarik terhadap informasi-informasi personal dari korbannya seperti nomor telepon, email, ukuran pakaian, nama lengkap, dan lain-lain yang cenderung bersifat privasi. Stalker juga berusaha mencari informasi tentang jati diri korban melalui internet, arsip personal, atau media lain yang mengandung informasi korban, bahkan ada yang sampai mendekati orang-orang terdekat korban untuk memperoleh hal tersebut tanpa izin.

Sepanjang penelusuran kami, tidak ada undang-undang secara khusus yang mengatur mengenai stalker atau penguntit ini.

Meskipun begitu, sebenarnya hukum positif Indonesia mengatur beberapa pasal terkait pengancaman yang diatur dalam KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan serta UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2026.

Ada kisah menarik mengenai kasus stalking Shani ini. Di sebuah episode Podcast Kompas Ngidol yang tayang pada 30 Oktober 2020 menjelaskan latar belakang mengapa sosok tersebut

Dalam podcast tersebut, diceritakan bahwa salah satu host dikenalkan dengan pelaku melalui adiknya. Dari informasi adiknya, diketahui bahwa latar belakang penguntit saat itu bekerja di bandara.

Latar belakang cerita penguntit ini dimulai saat JKT48 berangkat untuk tampil di AKB48 Asia Festival Shanghai 2019, di bandara tersebut diceritakan bahwa dia dan beberapa teman petugas bandara berfoto bersama para member. Dari situ, pelaku memiliki perasaan bahwa Shani me-notice sesuatu pada dirinya.

Perjalanan penguntitan itu pun dimulai. Dimulai dari mencari apartemen dengan menguntit kendaraan pulang member dari fX Sudirman. Beberapa kali gagal, akhirnya dia berhasil mendapatkan informasinya. Bahkan demi mendapatkan informasi lebih jauh, dia sampai berani menyogok petugas keamanan apartemen demi mendapatkan akses tersebut.

Saat Shani mulai mengeluarkan twit tersebut, pelaku diketahui mulai panik dan mencoba mencari cara untuk tetap bertemu meskipun sedang menjadi buronan fandom.

Di sisi lain, ada sebuah postingan Kaskus di tahun 2019 yang mengaku memiliki alamat tempat tinggal member JKT48. Dia bahkan menjelaskan proses pencarian alamat member dengan cara menguntit kendaraan yang digunakan setelah pulang latihan dari teater di fX Sudirman. Salah satu metode tersebut sepertinya berhasil diterapkan oleh pelaku stalker Shani di cerita sebelumnya.

Overthinking Berlebihan (Studi Kasus: Konten “Freya Grad” 2023)

Masifnya penggunaan media sosial hari ini memberikan kemudahan interaksi antara idola dan penggemar. Sehingga semakin menguatkan keterikatan emosional para penggemar dengan sang idola, bahkan merasa mengenal idolanya secara personal. Biasa dikenal sebagai hubungan parasosial.

Salah satu fenomena unik yang penulis amati setelah trending-nya meme Freya yang diambil dari cuplikan live Showroom-nya adalah munculnya penggemar-penggemar baru yang memiliki kekhawatiran berlebih mengenai status Freya sebagai member. Sebagai grup yang terus beregenerasi, tentu kita sangat paham bahwa graduation adalah hal yang sangat lumrah terjadi di JKT48 (setelahnya disebut sebagai grup idola Jakarta) tersebut.

Namun, sepertinya masih banyak penggemar yang belum memahami esensi kelulusan tersebut sehingga menimbulkan persepsi ketika member tersebut mengumumkan lulus atau resign seperti kehilangan segalanya. Tidak ada kelanjutan mengenai mimpi atau sekedar bagaimana penggemar akan berinteraksi dengan idolanya jika sudah tidak lagi menyandang titel sebagai idol.

Isu ini pernah terjadi ketika Freya menjadi salah satu line-up yang dibawa JKT48 untuk tampil di Tokyo Idol Festival 2023. Tanggal 29 Juli 2023 disebut sebagai tanggal graduate Freya, namun nyatanya yang mengadakan last show di tanggal tersebut adalah Jesslyn Callista.

Isu ini naik ketika Freya menjadi salah satu line-up yang dibawa JKT48 untuk tampil di Tokyo Idol Festival 2023. Tanggal 29 Juli 2023 disebut sebagai tanggal graduate Freya, namun nyatanya yang mengadakan last show di tanggal tersebut adalah Jesslyn Callista.

Sistem graduate sendiri berbeda dengan resign karena bagi member yang “lulus” dianggap “mengakhiri karir dengan baik-baik”, apalagi banyak faktor mengapa seorang member resign baik alasan yang dianggap baik maupun buruk untuk para penggemar. Hal ini pernah dibahas pada artikel ini mengenai adaptasi konsep idola Jepang di tanah air.

Kehadiran inside jokes kerap muncul dari momen unik hingga pengalaman yang dibagikan antar-anggota kelompok. Secara tidak langsung, istilah inside jokes secara tidak langsung memberi penegasan bahwa candaan yang sedang dibahas hanya dapat dipahami oleh internal kelompok. Itu artinya, istilah inside jokes membawa kesan eksklusivitas.

Humor bersama yang ditandai dengan inside jokes membawa kesan bahwa anggota kelompok mempunyai semacam kode rahasia dalam memahami sebuah candaan sehingga memperdalam hubungan interpersonal. Inside jokes sering diingat dengan pengalaman pribadi bersama atau kelompok sehingga membentuk komunikasi efektif dan melekat dalam ingatan.

Lalu, apa masalahnya inside jokes dengan penyebaran misinformasi yang sedang dibahas sekarang?

Dengan meluasnya jangkauan fandom grup idola Jakarta ini, semakin banyak audiens baru yang akan masuk dan mencoba mendapatkan informasi mengenai sang idola dari komunitas fanbase-nya. Yang jadi masalah adalah ketika inside jokes ini diterima oleh orang yang tidak paham kondisi dan konteks pembahasan. Hal ini bisa jadi menimbulkan kesalahpahaman sehingga audiens baru ini menganggap informasi yang mungkin hanya sepotong dari cuitan akun random atau editan iseng adalah sebuah kebenaran tanpa melakukan recheck

Penyebaran paling masif konten misinformasi ini adalah dari media sosial Tiktok. TikTok sendiri didesain untuk konsumsi video pendek yang langsung menarik perhatian. Visual yang meyakinkan, penceritaan yang “dramatis”, dan penyajian yang emosional bisa membuat orang lebih mudah percaya tanpa berpikir kritis.

Dalam kasus konten Freya Grad, pembawaan kontennya memiliki pola yang sama, slow motion video yang dimana Freya atau member lain terlihat sedih. Slow motion-ing sebuah momen video yang secara konteks tidak ada maksud tertentu bisa dibahas sebagai sebuah hal yang dramatis hanya dengan memperlambatnya dan memakai lagu-lagu sedih.

TikTok menggunakan algoritma berbasis minat (dan Twitter/X juga melakukan hal yang sama), jadi jika seseorang pernah tertarik pada teori konspirasi atau informasi keliru, mereka akan terus disuguhi konten serupa. Ini menciptakan efek echo chamber, di mana mereka hanya melihat informasi yang mengonfirmasi keyakinan mereka. Banyak pengguna yang hanya menonton sekilas tanpa mencari sumber lain. Informasi yang viral sering kali dianggap benar hanya karena banyak yang melihat atau membagikannya.

Ada beberapa kemungkinan yang bisa kita pahami dari maraknya fenomena konten misinformasi ini, meskipun hanya sebatas asumsi semata. Asumsi ini merupakan imajinasi dari kemungkinan-kemungkinan yang dibayangkan penulis.

Asumsi pertama adalah niatan untuk menjatuhkan nama baik member tersebut. Asumsi yang bisa digunakan untuk memperkirakan alasan para penyebar ataupun pembuat konten ini melakukan hal tersebut karena dengan adanya isu grad akan memunculkan spekulasi-spekulasi berlebihan, misal ketidaksetiaan pada grup atau bahkan gosip telah memiliki pasangan yang notabene melanggar golden rules

Meskipun begitu, asumsi ini bisa dibantah karena satu hal. Graduation bukanlah sebuah aib bagi member, justru sebagai cara agar dapat dikenang baik dan memiliki momen indah bersama fans sebelum meninggalkan grup. Dari sisi penggemar pun, mereka tidak akan memandangnya sebagai sebuah hal yang hina, malah menjadikan waktu yang tersisa sebagai kenangan yang perlu dirayakan. Meskipun sedih juga merupakan hal yang lumrah sebagai ungkapan kekagetan.

Asumsi kedua adalah soal engagement dan validasi semu dunia maya. Pepatah “engagement adalah candu” sepertinya sangat tepat untuk menggambarkan situasi yang sedang kita bahas. Dengan kemenangan kecil meraih banyak atensi di media sosial, tentu hal tersebut menimbulkan rasa kepuasan sendiri, apalagi jika berasal dari latar belakang pribadi yang sering “kalah” di dunia nyata.

Meskipun begitu, jika engagement ini dikaitkan dengan validasi sosial, maka siapa yang dapat menjadi tempat menemukan validasi tersebut? Kolom komentar dan repost adalah jawabannya. Dengan munculnya komentar yang merasa relate atau bahkan menambah informasi cocoklogi yang berkelanjutan, bukan tidak mungkin ini malah makin menguatkan keyakinannya.

Ini persis dengan bagaimana orang-orang yang percaya teori konspirasi area 51 ketika makin “disiram” dengan informasi cocoklogi NASA dan fenomena-fenomena tak terjawab lain. Penulis pun pernah sepolos itu memahaminya.

Asumsi ketiga yang mungkin terjadi adalah soal uang. Jika kalian berasumsi bahwa maksud mencari pundi-pundi rupiah adalah dengan menjadi “buzzer” yang harus membuat konten untuk “mengebom” for you page, penulis pastikan hal tersebut bisa dibantah.

Jika benar ada kejadian tersebut, pertanyaannya adalah siapa bouwheer yang mau spend uang sebesar itu untuk hal yang tidak memberikan dampak apapun? Kelulusan adalah bagian dari perjalanan, bukan sebuah skandal yang bisa menjatuhkan nama baik. Kalau saja itu benar, bouwheer ini juga tidak mendapatkan apapun.

Ada temuan menarik yang bisa terjadi, yaitu skema “arisan” atau “taruhan”. Ini adalah skema di mana di kelompok tertentu, terdapat sebuah grup dan mereka mengumpulkan uang dan menentukan siapa yang mendapatkan views dan engagement paling tinggi, maka ia yang akan mendapatkan uang tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari tweet yang telah dibahas pada pembahasan studi kasus sebelumnya. Penelusuran penulis di akhir tahun lalu juga menemukan pembahasan serupa di grup Whatsapp random yang bisa didapatkan dari akun-akun Tiktok tertentu (sayangnya, dokumentasinya hilang bersamaan dengan dihapusnya akun WA yang dipakai saat itu).

Asumsi keempat berkaitan dengan fenomena Fear of Missing Out atau yang dikenal sebagai FOMO. Orang cenderung ingin ikut serta dalam tren atau diskusi viral tanpa benar-benar mengecek kebenarannya. Jika sebuah klaim terlihat mengejutkan atau kontroversial, mereka mungkin langsung membagikannya agar tidak “ketinggalan.”
Dalam teori “Social Identity Theory”, orang cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok tertentu. Mereka membagikan konten yang relate sebagai cara untuk memperkuat hubungan dengan komunitas atau kelompok sosial yang memiliki nilai yang sama.

Situasi Memudarnya Intensi Konten Misinformasi “Freya Grad” ini mulai muncul saat Freya dengan tiba-tiba mematikan fitur “tag” di Tiktok dan membuat para pembuat konten merasa kelimpungan dan panik. Jika dilihat sekilas, hal semacam ini terlihat sangat sepele. Namun hal ini berhasil menekan peredaran konten tersebut di media sosial, khususnya Tiktok. 

Kondisi di Twitter/X mungkin berbeda, karena mayoritas pengguna media sosial tersebut lebih paham soal inside jokes dan terlihat lebih dapat menyaring informasi. Mengingat peredaran informasi mengenai grup dan fandom lebih mudah didapatkan dari platform tersebut. Perdebatan yang terjadi justru soal apakah perlu edukasi para penggemar yang belum paham kultur fandom atau malah diberangus sekalian.

Sayangnya, konten dengan konsep serupa tidak sepenuhnya hilang. Konten serupa tetap ada dan merambah ke member lain. Meskipun kebanyakan sudah mulai paham mengenai misinformasi mengenai graduation atau resign-nya member.

Golden Rules dan Representasi “Cepu” pada Polisi Idola

Golden Rules adalah seperangkat aturan wajib yang harus ditaati oleh seluruh anggota JKT48 selama masa kontrak mereka. 

Konteks ini berlaku di seluruh 48Group, Sakamichi Series (46 Group), dan Grup SNH48. Aturan paling terkenal di antara aturan-aturan ini adalah Love Ban (恋愛禁止 Ren’ai Kinshi), yang juga dikenal sebagai “Dating Ban” atau “Golden Rules”. Ini adalah aturan tradisional di kalangan idola untuk tidak menjalin hubungan romantis selama mereka menjadi idola. Banyak idola lain, baik di dalam maupun di luar Jepang, mengikuti aturan serupa.

Larangan Pacaran diterapkan secara berbeda di setiap grup. Pada Agustus 2023, Kashiwagi Yuki menyatakan bahwa AKB48 tidak memiliki “Dating Ban”. Namun, mantan anggota SKE48 Generasi ke-3, Matsumura Kaori dan Goto Risako, telah mengonfirmasi bahwa larangan pacaran tertulis dalam kontrak mereka. Selain itu, anggota grup lain juga memberikan pernyataan berbeda, menunjukkan bahwa formalitas aturan ini bervariasi antar grup.

Untuk JKT48, aturan tersebut berulang kali dijelaskan baik dari manajemen maupun member itu sendiri dalam berbagai kesempatan. Penjelasan terbaru saat ini dapat ditemukan pada Podcast Grace Tahir bersama Melody Laksani dan Shani Indira sebagai staf JKT48 Operational Team.

Dengan adanya aturan ini, ekspektasi para penggemar akan penerapan aturan yang abu-abu ini menjadi tinggi. Berbarengan dengan sikap skeptis atau rasa ingin tahu yang mungkin muncul di sebagian penggemar, muncullah akun-akun yang bersikap seperti anonim yang membocorkan informasi pelanggaran aturan “Golden Rules” itu.

Konsep media seperti ini sebenarnya bukan hal yang baru. Media Dispatch di Korea Selatan adalah contohnya. Meskipun bukan dalam konteks “Love-Ban Rule” ala idola Jepang, media ini dikenal karena menggunakan metode kerja paparazzi untuk membongkar skandal, rumor kencan, dan isu-isu pribadi selebriti.

Meskipun sering menimbulkan kontroversi karena dianggap melanggar privasi, Dispatch disukai oleh banyak netizen karena kemampuannya mengungkap kebenaran yang tidak bisa dijangkau media lain. Hal serupa juga mungkin terjadi, termasuk kepada pengikut akun-akun serupa seperti “Polisi Idol”, “Kopi Idol”, dan akun-akun lainnya di ranah fandom grup idola Jakarta.

Mengapa akun-akun semacam “Polisi Idol” bisa terus eksis meskipun berulang kali dikritik habis-habisan?

Polisi Idol dan para komplotannya ini tidak bekerja sendiri tentunya, dia disuplai informasi-informasi dari orang-orang yang percaya dengannya. Konsep polisi idol ini lebih seperti sebagai “cepu” yang memberikan informasi kepada akun yang bersikap seperti polisi. Pada pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cepu bermakna informan polisi.

Penting untuk dicatat bahwa penggunaan istilah “cepu” juga dapat bervariasi berdasarkan faktor-faktor seperti usia, latar belakang budaya, dan konteks sosial. Misalnya, apa yang dianggap sebagai perilaku “cepu” di kalangan remaja mungkin dipandang berbeda oleh orang dewasa atau dalam konteks profesional.

Cepu memiliki arti tukang mengadu, yang bisa merugikan korban. Pasalnya, privasi yang seharusnya nggak boleh disebarkan ke orang lain menjadi bocor dan merugikan orang tersebut. Permainan ini yang digunakan polisi idol dan orang-orang yang memercayakan “temuan” mereka kepada akun yang memiliki sorotan engagement besar. Setelahnya, diunggah untuk mendapatkan atensi dengan caption

Di sisi lain, munculnya fenomena “cepu” fandom ini juga bisa dibaca sebagai bentuk adanya ketidakpercayaan sebagian penggemar terhadap sikap sang idola sendiri. Tumbuhnya engagement yang didapatkan akun-akun serupa dan kemarahan yang belum sepenuhnya terkontrol karena informasi sepotong membuktikan bahwa seringkali emosi manusia lebih mendahului proses verifikasi informasi yang tidak mudah tentunya.

Apakah akun-akun semacam ini dapat dipidanakan karena menyenggol ranah privasi sang idola?

Sayangnya, kasus-kasus yang dilempar oleh Polisi Idol ini terlalu abu-abu untuk dibawa ke ranah meja hijau. Tidak adanya aturan detail mengenai kejadian kriminal seperti stalker ataupun mengambil gambar tanpa consent. Secara hukum pun mungkin ini lebih cenderung ke ranah perdata terkait kontrak antara talent dan manajemen. 

Berbeda dengan fitnah yang terlontar sangat jelas melalui platform media sosial seperti kasus reply Kazeo_777 di akun Twitter resmi JKT48 tahun 2021 yang menuduh beberapa member JKT48 memiliki hubungan terlarang dengan General Manager-nya, Fritz Fernandes.

Meskipun begitu, “akun-akun polisi” ini bisa dijerat dengan tuduhan fitnah secara personal. Frasa “orang lain” yang menjadi aduan di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah individu atau perseorangan dikecualikan dari ketentuan Pasal 27A UU 1/2024 jika yang menjadi korban pencemaran nama baik bukan individu atau perseorangan, melainkan lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas yang spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan. 

Kita tidak pernah tahu bagaimana JOT meng-handle maraknya akun seperti ini. Akun serupa seperti “Kopi Idol” yang pertama kali membuka foto dua member JKT48 dengan dua personil boyband ternama di pertengahan 2021 yang diduga diambil di salah satu hotel kawasan BSD dan kejadian “Labuan Bajo” dimana sang idola (sekarang eks-member) malah berlibur di situasi pandemi, padahal dia diharapkan tampil saat shonichi (pertunjukan perdana) Cara Meminum Ramune Tim KIII di November 2020. Atau juga akun “Helm Proyek” di Tiktok yang gemar melancarkan fitnah dan tuduhan berbasis asumsinya.

Dari perspektif penulis, para penggemar yang kadung terbakar amarah dan kekecewaannya juga perlu menahan diri. Penanganan manajemen yang tidak terbuka selama ini memang memicu rasa kesal, namun kita tidak pernah mengetahui pasti bagaimana skema legal kontrak mereka. Ada aspek serius yang perlu diperhatikan untuk penampilan ke publik, bukan sekedar hukuman yang hanya membayar ego dan amarah kekecewaan penggemar.

Ada beberapa kejadian seperti kasus Zee dengan vape-nya di tahun 2023 lalu, dimana bahkan kejadian itu ditemukan dari vlog guest star lain yang diajak brand yang di-endorse Zee saat acara tersebut. 

Pada kejadian hukuman Ella pun, dia juga tampil sebagai brand ambassador untuk produk yang berkolaborasi dengan grup seperti laptop Axioo atau minuman yogurt Kin. Bisa jadi ada konsekuensi terkait legal dan hukum jika tidak dikelola baik oleh manajemen.

Penulis sendiri tidak banyak mempermasalahkan hal-hal terkait adanya “cepu” ini, mengingat dalam banyak kejadian yang terungkap terlihat bahwa si idola juga turut andil dalam melakukan kesalahan. Membungkam eksistensi akun-akun “cepu” ini justru malah mengindikasikan adanya ketimpangan pemahaman dimana kita malah dianggap tidak bisa menerima kebenaran. 

Adakalanya, “self-claim”-nya sebagai penegak golden rules ini benar-benar dijalankan. Fungsi pengawasannya justru lebih terjaga daripada polisi yang sesungguhnya. Namun, langkah orang yang kadung haus engagement tak dapat dipungkiri malah bisa menjebaknya ke dalam langkah yang “membunuh” dirinya sendiri di dunia nyata.

Informasi yang sepotong berkedok caption “Ada yang DM” inilah yang perlu dilakukan proses verifikasi dengan kepala dingin. Banyak juga tuduhan tak berdasar yang seperti muncul dari tendensi seseorang yang sering kalah dan tak punya cinta di dunia nyata.

Kecuali berbicara mengenai fitnah yang mereka tebarkan, ini mungkin bisa menjadi concern untuk manajemen dan pihak terkait. Karena justru hal ini yang menjadi keresahan di saat mereka kehabisan konten untuk membuka skandal baru. Mengejar probabilitas keberhasilan kecil dengan menebar tembakan tanpa arah demi validasi yang mungkin tidak dia dapatkan di dunia nyata.

Celebrity Worship Syndrome

Masifnya penggunaan media sosial hari ini memberikan kemudahan interaksi antara idola dan penggemar. Sehingga semakin menguatkan keterikatan emosional para penggemar dengan sang idola, bahkan merasa mengenal idolanya secara personal. Biasa dikenal sebagai hubungan parasosial.

Meski tampak wajar, perilaku tersebut bisa menjadi awal dari celebrity worship syndrome. Celebrity worship syndrome merupakan sebuah kondisi ketika seorang penggemar merasa punya keterikatan berlebihan dengan idolanya. Saking merasa terikat dengan sang idola, orang dengan sindrom ini bisa memikirkan idolanya tanpa kenal waktu.

Kejadian serupa juga dialami Oline di awal tahun 2024. Hal tersebut diawali saat Oline terpantau tidak muncul di foto member yang tampil di Prambanan Jazz 2024. Melalui private message, dia memberitahu bahwa dia mengejar waktu untuk pergi ke luar negeri, salah satunya adalah untuk melihat kampus. Dari pernyataan ini, banyak orang memiliki spekulasi bahwa dia tidak akan lama lagi di JKT48. Serta banyak member lain yang mendapatkan jenis konten serupa

Masifnya konten-konten overthinking tentang member di timeline media sosial saat ini merupakan manifestasi dari emosi beberapa orang yang teramplifikasi menjadi sebuah konten di media sosial. Memiliki perasaan dekat dengan sang idola, seseorang bisa sangat memikirkan idolanya tanpa kenal waktu. Membagikan konten yang relate bisa menjadi cara untuk mencari pengakuan atau mencari validasi dari orang lain, terutama jika mereka ingin merasa dipahami. Dengan lingkaran yang terus berputar, pada akhirnya konten-konten tersebut tersebar kemana-mana.

Yang perlu dicatat sebagai penggemar adalah bagaimana kita mengelola kritik kepada idola. Sebagai penggemar, rasanya tetap sah saja jika menuntut adanya sanksi yang dikenakan. Namun, dengan peraturan internal dan faktor kontrak kerja yang tidak diketahui sebagai penggemar, untuk sampai di tahap adanya pernyataan hukuman dari manajemen dan permintaan maaf dari member sudah cukup. 

Banyak yang membandingkan antara satu kasus dengan kasus lainnya yang memiliki perbedaan perlakuan. Sikap skeptis ini boleh-boleh saja, namun jangan sampai membutakan cara pandang dari internal seperti apa. 

Mengenai bagaimana penggemar bisa memiliki obsesi berlebihan dengan idolanya, pernah dibahas pada artikel “Permainan Semu Itu Bernama Waro“. Penulis pernah membahas mengenai bagaimana ketergantungan emosional menciptakan pondasi kebahagiaan yang rapuh. Ketika seluruh emosi dan suasana hati dipengaruhi oleh aktivitas atau citra publik idola, individu menjadi rentan terhadap kekecewaan yang mendalam.