Kisah Demonstrasi Fandom (Studi Kasus: #FufufuritsuOut)

Dalam Rubrik

,

ditulis oleh

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena protes penggemar terhadap manajemen grup idola semakin menonjol dalam industri hiburan. Protes tersebut tidak lagi sebatas ekspresi emosional sesaat, melainkan wujud kritik kolektif yang terorganisasi dan terpublikasikan secara luas melalui berbagai saluran, khususnya media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa penggemar kini memiliki posisi strategis sebagai pemangku kepentingan yang turut memengaruhi arah kebijakan manajemen.

Keterlibatan penggemar dalam mengawasi dan mengkritisi keputusan manajemen berangkat dari rasa kepemilikan yang kuat terhadap perjalanan karir sang idola. Dengan investasi waktu, perhatian, dan dukungan materi yang mereka berikan, para penggemar merasa memiliki hak untuk menyuarakan pendapat ketika kebijakan dianggap merugikan atau mengabaikan kepentingan artis. Dari perspektif tersebut, protes bukan sekadar bentuk ketidakpuasan, melainkan pernyataan tanggung jawab moral fans terhadap kesejahteraan idola mereka.

Lebih jauh, praktik ini mencerminkan perubahan paradigma dalam hubungan antara industri hiburan, artis, dan penggemarnya. Fans tidak lagi diposisikan hanya sebagai konsumen pasif, melainkan sebagai aktor aktif yang berupaya membentuk standar etika dan profesionalisme dalam pengelolaan artis. Protes yang mereka lakukan, pada titik tertentu, dapat menjadi mekanisme kontrol sosial yang mendorong manajemen untuk lebih akuntabel, transparan, dan responsif terhadap suara publik.

Beberapa waktu lalu, muncul keramaian dimana penggemar JKT48 yang menggemakan tagar #FufufuritsuOut. Sebagai informasi, Fufufuritsu ini merujuk kepada sosok General Manager JKT48, Fritz Fernandes. Pemicunya adalah munculnya foto lama yang dimana dia mendapatkan 

Sebenarnya, kasus kue tidak senonoh tersebut bukan isu utama, namun kue tersebut menjadi sumbu “bom waktu” kekesalan para penggemar atas performa manajemen.

Keluhan terhadap JKT48 Operational Team (JOT) sebagai manajemen telah lama muncul, mencakup isu kurangnya komunikasi, keputusan sepihak terhadap member, serta ketidakjelasan penanganan berbagai masalah internal yang terjadi dalam grup. Para penggemar merasa bahwa kerja keras para anggota tidak mendapatkan dukungan maksimal dari pihak manajemen.

Lalu, bagaimana proses panjang demonstrasi penggemar kepada manajemen? Tulisan ini akan mencoba menganalisis apa yang terjadi pada kejadian tersebut, dampak di berbagai sisi, hingga “pelajaran” yang bisa diambil dari kejadian ini untuk fandom.

Protes Penggemar Bukan Pertama Kali Terjadi

Karengan bunga krisan putih dikirim fans buat protes ke SM Entertainment terkait kembalinya Seunghan ke RIIZE beberapa waktu lalu. (Sumber: X @302loverockstar)

Protes penggemar kepada manajemen idola bukanlah barang baru, khususnya di dalam fandom KPop.

Berdasarkan berita dari Detik, pernah ada masa mereka akan bikin kerumunan di depan gedung agensi dan bawa papan protes (seperti demonstran pada umumnya), kirim truk LED dengan pesan yang ditujukan ke manajemen, hingga mengirim karangan bunga kematian sebagai simbol dalam menuntut keadilan dan kesetaraan.

Lee Hae Rin dari The Korea Times menulis bunga krisan yang dikirim fans K-Pop ke kantor agensi merupakan duka atas kegagalan agensi.

Bunga krisan putih berbaris di depan gedung SM Entertainment bertuliskan kata-kata penolakan buat kembalinya Seunghan ke RIIZE. Mereka berhasil. Nggak lama setelah itu agensi secara resmi mengumumkan Seunghan akhirnya permanen dikeluarkan dari grup.

Protes dengan karangan bunga kematian ini ternyata bukan ada baru-baru ini. Dikutip dari Korea Times, protes dengan menggunakan karangan bunga krisan putih pertama kali terjadi tahun 2006 dan itu bukan di ranah industri hiburan.

Lalu bagaimana dengan bentuk protes penggemar kepada manajemen dalam konteks grup idola Jakarta?

Ada beberapa kejadian yang pernah terjadi, sebagian besar memang masih berkaitan dengan “golden rules” yang menjadi “jualan” bisnis parasosial ini. Bentuknya bermacam-macam, dari sebatas gerakan di media sosial hingga memasang banner di depan teater.

Sumber: https://x.com/lutfisoib/status/526276754566950912/photo/1 (Diunggah 26 Oktober 2014)
Sumber: https://web.facebook.com/450833848332700/photos/a.451665314916220/724012367681512 (Diunggah pada 20 Oktober 2014)

Selain mengenai “golden rules” yang menjadi bahan protes, para penggemar sering kali bersuara mengenai hal lain. Misalkan pada tahun 2021 lalu, JOT melaporkan sebuah akun Twitter yang dianggap mencemarkan nama baik salah satu member, yaitu Shani.

Masalahnya, bahkan hingga tulisan ini terbit empat tahun setelah adanya ultimatum dan laporan tersebut, tidak ada jawaban pasti mengenai perkembangan kasus ini. Apakah pada akhirnya sang pelaku mempertanggungjawabkan tindakannya atau malah masih melenggang di luar.

Ini lah yang membuat para penggemar geram. Para penggemar menganggap bahwa manajemen tidak serius untuk menindaklanjuti laporan yang mereka buat sendiri serta mempublikasikan hasilnya. Aspek perlindungan kepada member terkait perundungan dan pelecehan secara daring pun dipertanyakan.

Merchandise Jelek Hingga Kue Mesum: Kronologi #FufufuritsuOut

Untuk memahami konteks, nama “Fufufuritsu” merujuk pada General Manager (GM) JKT48 saat artikel ini ditulis, yaitu Fritz Fernandes. Nama Fufufuritsu merupakan username yang dia gunakan di media sosialnya, baik Instagram ataupun Twitter.

Tagar #FufufuritsuOut sebenarnya bukan merupakan tagar yang baru muncul belakangan ini. Tagar ini sudah muncul sejak peristiwa restrukturisasi JKT48 yang terjadi di akhir 2020 silam. Selain soal komunikasi dan keluhan penggemar yang tidak tertampung dengan baik, ada dua kejadian lain yang men-trigger keluarnya tagar tersebut.

Pertama, buruknya kualitas merchandise “limited edition” untuk edisi single baru JKT48 saat itu yang berjudul “Cara Ceroboh Untuk Mencinta”. Mulai dari upaya mengakali sistem pre-order di Tokopedia karena keterlambatan produksi hingga hasil produksi yang terkesan apa adanya.

Masalah kedua masih berkaitan dengan merchandise tersebut, dimana dalam photobook yang menjadi paket special box malah tidak menampilkan keseluruhan member yang membawakan lagu tersebut.

Tercatat ada belasan dari 33 member yang membawakan lagu tersebut malah tidak ada di photobook tersebut. Penggemar bahkan menyebut tim layout-nya memilih kaki-kaki kursi dan meja daripada menampilkan wajah sang member. Ini makin diperkuat dengan pernyataan salah satu orang tua member (sekarang ex-member) yang merasa tidak adil, apalagi putrinya merupakan satu-satunya member generasi 1 yang tersisa.

Tagar ini mulai mereda setelah itu, tertutupi oleh perayaan 10 tahun grup idola Jakarta ini berdiri dan pengumuman graduation Gaby, satu-satunya member generasi 1 saat itu yang menjadi “the last pioneer“.

Hingga pada awal bulan Juli 2025 yang berbarengan dengan pelaksanaan event “JKT48 All-In Tour 2025” ke 5 kota besar di pulau Jawa, sebuah “akun troll” di Twitter/X yang me-repost unggahan repost Instastory lama dari si General Manager (GM). Postingan ini kemudian menjadi titik mula menyebarnya kembali seruan #FufufuritsuOut.

Poster gerakan #FufufuritsuOut yang beredar di media sosial, khususnya Twitter/X

5 hari kemudian, JOT melalui akun Twitter/X-nya memberikan penjelasan mengenai fenomena yang sudah mulai melebar ke ranah publik non-fans.

Dengan naiknya pernyataan ini pun, banyak penggemar yang merasa masih belum puas dengan jawaban itu. Mengenai pernyataan bahwa tidak ada member yang hadir pada perayaan ulang tahun itu, banyak penggemar membongkar arsip lama berupa rekaman live streaming member via aplikasi Showroom maupun backup Instagram Story member di tanggal tersebut yang menunjukkan bahwa banyak member yang berfoto atau berada di kantor dengan latar belakang dekorasi ulang tahun yang belum berubah.

Suasana yang belum sepenuhnya kondusif ini makin diperkeruh dengan suatu unggahan dari sebuah akun X yang menunjukkan percakapan via direct message dengan Iin Waode, staf koreografer JKT48.

Walaupun memang membuka secara publik percakapan personal tanpa persetujuan adalah hal yang salah, namun kalimat yang dianggap menggeneralisasi penggemar yang “salkus” ke member dengan kata “kalian” alih-alih menggunakan kata “mereka”. Pernyataan ini kemudian memicu kemarahan penggemar dan memicu asumsi bahwa dari internal manajemen sendiri ternyata memandang penggemar secara negatif.

Penyensoran Protes dan Sikap Aliansi

Sebagaimana yang sering kita dengar dan lihat sebagai warga negara, penyensoran atas kritik dan protes di muka publik juga terjadi selama pelaksanaan tur di 5 kota besar Pulau Jawa lalu.

Ada sebuah paradoks yang menjadi satir di kalangan penggemar, bahwa kadangkala pap member seringkali muncul di tengah huru-hara keributan dan tuntutan penggemar yang panas di media sosial. Namun pada momen kali ini rasanya satir ini tidak banyak berpengaruh terhadap suasana.

Kota yang pertama kali mengalami “penyensoran” ada di kota Yogyakarta. Seorang penggemar yang membentangkan kertas bertuliskan tagar #FufuritsuOut dalam foto panggung terlihat hanya membentangkan kertas putih kosong. Hal itu diindikasi telah diedit dengan text remove atau dihapus sebelum diunggah.

Pasca kejadian tersebut, larangan membawa banner berukuran besar diterapkan di kota-kota selanjutnya seperti Solo dan Surabaya. Puncaknya, di tur “All-In” Surabaya terbentang poster yang diketahui berasal dari kelompok “Team Pojok Kanan”

Poster ini mengkritik perubahan aturan Personal Meet and Greet (MnG) di pelaksanaan tur All-In ini, dimana awalnya di dalam bilik MnG hanya ada dua orang (yaitu member dan fans) diubah dengan tambahan time keeper yang posisi seharusnya berada di luar bilik.

Perubahan kebijakan ini terjadi menjelang pelaksanaan acara, bahkan dalam syarat dan ketentuan pembelian tiket MnG tidak tercantum aturan tersebut. Banyak isu yang menyebut bahwa perubahan tersebut karena pelanggaran yang dilakukan penggemar di event sebelumnya hingga membuat member merasa tidak nyaman.

Meskipun pada unggahan foto panggung di media sosial Twitter/X poster tersebut masih terlihat, namun pada postingan Tiktok mereka hanya mengambil angle dari bawah yang tidak menampilkan penonton, termasuk poster yang telah terbentang jelas itu.

@jkt48.official Terima kasih, Surabaya! Menutup rangkaian JKT48 ALL IN TOUR 2025 dengan sangat luar biasa ❤️ #JKT48ALLINTOUR2025 ♬ Raja Hati – JKT48

Selain itu, selama beberapa show teater yang umumnya mengadakan sesi baca tweet diubah menjadi sesi baca surat yang dimasukkan kotak sebelum pertunjukan berlangsung.

Pergerakan memprotes tuntutan kejelasan pasca naiknya foto “kue mesum” itu belum selesai. Berbagai kelompok fans regional dari berbagai kota turut menyampaikan sikapnya.

Hingga pada 13 Juli, salah satu fanbase member memberikan statement mengenai “kue mesum” tersebut.

Pernyataan dari fanbase Raishanrise ini memicu kegelisahan di One Alliance. Mengingat keluarnya statement di atas dilakukan tanpa diskusi dan dikhawatirkan terjadi fitnah. Aliansi mencoba mencari “jalan tengah” untuk mengimbangi tuntutan keras dari eksternal terkait pernyataan sebagai aliansi yang mewakili penggemar namun tetap menyuarakan keresahan yang ada.

Beberapa admin fanbase melaporkan bahwa mereka membaca beberapa pertanyaan dan komentar bernada ancaman terkait sikap diamnya fanbase member terhadap isu ini.

Ada banyak faktor yang membuat aliansi ini memilih untuk tidak menunjuk langsung ke sang GM. Dimulai dari situasi internal grup yang pastinya tidak diketahui oleh penggemar, kekhawatiran akan stigma negatif atau dampak internal terhadap member, hingga adanya informasi bahwa beberapa member meminta fanbase-nya untuk tidak terlibat lebih jauh mengenai pembicaraan isu sang GM.

Pada akhirnya, aliansi memilih untuk menuntut komunikasi terbuka antara manajemen dan penggemar. Mereka melihat bahwa melebarnya kasus “Kue Mesum” tersebut juga dikarenakan buruknya komunikasi publik yang dilakukan sejauh ini, ditambah dengan bom waktu kekecewaan penggemar terhadap banyak kasus kecacatan produk dan kebijakan manajemen beberapa waktu terakhir.

Empat hari kemudian, One Alliance mengumumkan bahwa mereka akan mengikuti gerakan yang telah diinisiasi oleh fans regional Jakarta untuk tidak meneriakkan encore saat konser “Full House” di Istora Senayan pada 26 Juli 2025.

Pernyataan One Alliance dan Alliance Regional tidak mendapatkan respons dari manajemen, hingga peristiwa “No Encore” benar-benar terjadi di Istora Senayan.

Domino-effect “No Encore”

Mengapa encore menjadi penting di pertunjukan grup idola Jakarta? Encore dalam konteks pertunjukan grup idola Jakarta adalah sebuah permintaan dari penggemar agar para anggota idola (member) kembali ke panggung setelah penampilan utama berakhir untuk membawakan lagu tambahan. Momen ini dianggap sebagai salah satu budaya sakral dan menjadi simbol ikatan emosional antara idola dan penggemar.

Momen ini sering dimanfaatkan untuk merayakan pencapaian atau perpisahan seorang member dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman menonton grup idola Jakarta.

Konser “Full House” pada Juli lalu menjadi catatan historis karena pertama kalinya terjadi no encore pada konser grup-grup 48. Meskipun dalam sejarah pertunjukan JKT48, pernah terjadi no encore pada pertunjukan teater “Pajama Drive” 7 Desember 2012. Namun, beberapa penggemar yang menyaksikan pertunjukan itu berasumsi bahwa kejadian tersebut “dikondisikan” oleh manajemen karena jeda encore yang lebih cepat sehingga terkesan tidak ada yang memimpin encore.

Bagaimana efek domino yang muncul setelah konser? Pastinya muncul banyak pro-kontra akan situasi yang terjadi. Utamanya setelah kejadian no encore ini mengorbankan teriakan Haruka Nakagawa (ex-member JKT48) yang bersemangat mencoba memulai dan dorongan encore dari beberapa penggemar Jepang yang tidak tahu situasi no encore ini.

Bukan sekedar sikap diam acuh yang ditunjukkan oleh penonton lain, namun hingga terjadi booing satu Istora kepadanya. Suara “ssssttt” juga terjadi cukup bersahutan dari venue. Konser yang sebelumnya terasa menyenangkan menjadi tegang selama menunggu itu.

Banyak juga yang berpendapat jika tidak ingin ada encore, langsung segera berbalik keluar dan tidak usah menunggu di dalam. Penulis rasa, orang-orang juga penasaran apa yang terjadi pada pertunjukan jika situasi diam ini terus berlangsung. Mungkin juga ada yang memastikan bahwa acara konser benar-benar diselesaikan tanpa encore.

Opini-opini yang menyudutkan para penonton yang memutuskan no encore juga banyak bertebaran selain yang serupa di atas. Rasa kasihan terhadap kerja keras member yang dianggap tidak tahu apa-apa terhadap situasinya, cara menggedor manajemen yang dianggap tidak sesuai tempat, hingga menuduh Haruka adalah “tumbal” manajemen untuk tetap mengupayakan adanya encore.

Penulis paham bahwa rasa emosi dan amarah menyelimuti kita, yang terbentang sejak lama dan memuncak dengan sikap diam itu. Namun, bisakah kita melihat perspektif lain dalam melihat apa yang terjadi saat itu? Banyak hal yang penulis rasa hanya sekedar asumsi yang muncul dari emosi yang meledak.

Misalkan mengenai situasi saat member membawakan lagu “Oh My Pumpkin” versi Bahasa Indonesia di sesi benefit group photo untuk kategori Ace pada konser Full House Juli lalu, beberapa akun beranggapan bahwa hal tersebut adalah upaya gaslighting manajemen. Tapi bagaimana ternyata itu adalah inisiatif member yang antusias ingin membawakan namun tak sempat karena tiada encore?

Atau pada event yang sama, ketika Haruka menginisiasi encore yang direspon dengan booing dari penonton konser lain. Apakah kalian yakin dia diminta gerak oleh JOT atau murni karena menyemangati “adik-adiknya” dengan perspektif dia yang pernah menjadi idola?

Salah satu informasi mengenai kondisi belakang panggung dapat sedikit terbaca dari sebuah kejadian yang dialami oleh salah seorang penggemar. Rangga Widigda, dalam salah satu episode podcast-nya yaitu “Swara Fandom” menceritakan bagaimana dia dihampiri oleh orang tua member setelah konser “Full House” Juli lalu.

Dia dianggap menginisiasi gerakan tersebut dan akunnya telah ditandai oleh banyak pihak. Bahkan dalam tendensi pernyataan orang tua member, situasi ini dianggap sebagai “orang baik yang dizalimi”. Ada pernyataan yang menurut Rangga lumayan membuatnya berpikir, yaitu ucapan dimana salah satu orang tua tersebut menyampaikan bahwa “jangan kaget jika member tidak suka dengan gerakan kalian”.

Sebagaimana yang telah dibahas, bahwa gerakan no encore sendiri merupakan hasil konsolidasi antara aliansi fanbase “One Alliance” dan aliansi fanbase regional “Alliance Regional”. Hal ini memang ditujukan untuk “memaksa” manajemen membuka pintu komunikasi yang selama ini tidak didengar, alih-alih menuntut dengan berbagai pernyataan yang tak kunjung direspons.

Bagaimana dengan member? Kita mencoba mengutip pengakuan Shania Gracia pada liputan “Ruang Jujur” di Youtube Jawa Pos, dia menyampaikan bahwa momen tersebut membuatnya sedih karena melihat semangat member lain yang berharap encore tiu tetap terlaksana. Bagi member, encore adalah momen sakral yang selalu ditunggu.

Dalam pernyataannya, Gracia juga menyebut bahwa awalnya pengumuman graduation dilakukan setelah encore, namun atas keputusan manajemen akhirnya momen pengumuman tersebut dimajukan untuk mengantisipasi situasi “itu” yang telah diumumkan aliansi.

Sejak kemunculan gerakan #FufufuritsuOut, penulis memang cukup berkeyakinan bahwa kasus ini akan melenceng terlalu jauh jika tidak ditangani dengan baik oleh manajemen. Sekiranya yang bersangkutan hadir dan menyampaikan permintaan maaf tanpa bahasa gaslighting di situasi tur, sekiranya hal ini tidak perlu sampai meminjam cap tangan IDN di klarifikasi kedua.

Menjadikan satu orang sebagai korban witch hunt tidak akan menyelesaikan masalah, malah bisa jadi memperkeruh suasana. Tuduhan beberapa penggemar yang menganggap bahwa ada kejadian “sexual harrasment” di internal terlalu mengada-ada tanpa bukti yang jelas.

Di posisi penggemar sebagai konsumen, tentu kita tidak akan banyak tahu bagaimana hubungan antara member sebagai talent dan manajemen. Apakah yang dituduh melakukan tindakan tersebut benar-benar melakukan atau malah justru dia memperlakukan para talent-nya jauh lebih baik daripada penggemar yang sering menuntut? Bisa jadi secara perlakuan dan kebutuhan internal dialah penyelamat sesungguhnya, namun rasanya kita perlu bisa memosisikan diri.

Dalam pembahasan konsep bisnis idola Jepang yang dibahas di artikel “Adaptasi Budaya Idola Jepang di Dunia Hiburan Tanah Air”, ujung dari kapitalisasi idola di Jepang adalah menjadikannya sebagai “platform untuk beriklan”. 

Tentu saja ini berkaitan dengan konsep business-to-business (B2B) sebagai model bisnis dimana transaksi terjadi antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Kita mungkin hanya remahan angka di pitch deck “Utomo Brothers” ke investor.

Rasanya, seharusnya kita berfokus akan tuntutan sebagai konsumen yang dikecewakan dengan pelayanan “penjual” ketimbang melebar laksana perwakilan member yang rasanya tak perlu kita wakili. Mereka lebih tahu dan jangan sampai parasosial ini membawa kita pada halusinasi bahwa kita mewakili talent.

Fanspace: Komunikasi Konstruktif atau Gimik Peredam Amarah?

Pengumuman JKT48 Fanspace (dari website JKT48, 6 Agustus 2025)

Pasca-kejadian panjang yang berakhir dengan no encore tersebut, JKT48 mengumumkan adanya fanspace untuk wadah diskusi antara penggemar dan manajemen. Manajemen mengumumkan bahwa mereka mengkontak aliansi fanbase sesuai dengan daerah yang dituju.

Saat ini, telah diumumkan hasil fanspace dari dua perspektif.

Semoga para penggemar dapat belajar bahwa solidaritas dan penyelerasan sikap dapat menggetarkan tembok mereka. Event besar di Istora Juli lalu menjadi catatan bahwa suara penggemar jangan sampai disepelekan lagi. Gaungnya tidak lagi sebatas di fandom, namun berhasil menjadi “penarik atensi” di media.

Memang, kita tidak sedang menuntut negara yang segala kebijakannya akan memengaruhi hidup kita. Ini hanyalah sebuah produk tersier yang jika kita kehilangannya pun tidak berdampak signfikan terhadap perjalanan hidup. Angka-angka pitch deck itu tidak akan laku lagi jika setiap event sepi dan tidak memberikan engagement sales signifikan bagi mereka.

Tulisan ini merupakan sebuah pujian atas kekompakan fandom dalam menyuarakan keresahannya sebagai konsumen yang tak pernah didengar, mengeskalasinya menjadi tindakan serempak dalam event yang mungkin “mempermalukan” manajemen. Meskipun kita perlu tetap skeptis dengan riwayat mereka pernah melakukan hal yang sama namun tidak menghasilkan apa-apa.

Di sisi lain, fandom banyak belajar bagaimana mengorganisasi sebuah pergerakan dan mengharmonikan tuntutan sesama “konsumen” yang beragam agar lebih terarah. Sisi parasosial juga seringkali menjadi “batu sandungan” atas cara berpikir logis kita tentang mengiba pada kerja keras member dan staf serta sikap seolah-olah mewakili sang idola yang tidak perlu. Inilah yang memicu berita tidak benar dan cenderung sebagai fitnah.