Glosarium
Istilah | Penjelasan |
Grup Idola Jakarta | Istilah untuk menyebut JKT48 |
Fanbase | grup atau komunitas yang terdiri dari penggemar yang memiliki minat dan kesukaan yang sama terhadap sesuatu, seperti member tertentu (dalam konteks JKT48) |
Salah satu fenomena unik yang penulis amati setelah trending-nya meme Freya yang diambil dari cuplikan live Showroom-nya adalah munculnya penggemar-penggemar baru yang memiliki kekhawatiran berlebih mengenai status Freya sebagai member. Sebagai grup yang terus beregenerasi, tentu kita sangat paham bahwa graduation adalah hal yang sangat lumrah terjadi di grup idola Jakarta tersebut.
Namun, sepertinya masih banyak penggemar yang belum memahami esensi kelulusan tersebut sehingga menimbulkan persepsi ketika member tersebut mengumumkan lulus atau resign seperti kehilangan segalanya. Tidak ada kelanjutan mengenai mimpi atau sekedar bagaimana penggemar akan berinteraksi dengan idolanya jika sudah tidak lagi menyandang titel sebagai idol.
Penulis memilih kasus Freya Grad yang telah terjadi di 2023 lalu sebagai studi kasus dengan beberapa pertimbangan. Di antaranya beragamnya isu yang terjadi dari fenomena ini seperti istilah “wota tiktok”, banyaknya inside jokes yang memicu kesalahpahaman dua audiens media sosial yang berbeda, dan terungkapnya beberapa latar belakang naiknya konten seragam dalam rentang waktu tertentu.
Latar Belakang dan Pembahasan Studi Kasus
Intensi konten Freya di media sosial, khususnya Tiktok, setelah viralnya konten meme Freya yang diambil dari cuplikan-cuplikan lama live streaming Freya di Showroom. Sebagai informasi, Showroom merupakan sebuah aplikasi live streaming dari Jepang yang digunakan oleh member JKT48.
Isu ini naik ketika Freya menjadi salah satu line-up yang dibawa JKT48 untuk tampil di Tokyo Idol Festival 2023. Tanggal 29 Juli 2023 disebut sebagai tanggal graduate Freya, namun nyatanya yang mengadakan last show di tanggal tersebut adalah Jesslyn Callista.
Intensi konten misinformasi ini beredar cukup masif dan memicu perbincangan baik secara halus maupun kasar yang berintensi pada kemarahan atas misinformasi ini. Yang menjadi pertanyaan yang akan coba didiskusikan pada tulisan ini adalah:
- Mengapa konten misinformasi dapat menyebar masif?
- Apa yang didapatkan para penyebar konten misinformasi ini?
Memahami Konsep Graduation
Konsep Graduation atau Kelulusan merupakan proses pelepasan anggota grup idola yang ingin mengakhiri karirnya di grup tersebut. Proses kelulusan ini biasanya dilakukan dengan pertunjukan terakhir dan konser kelulusan. Sama seperti AKB48, JKT48 juga menerapkan sistem kelulusan atau graduation bagi anggota yang ingin mengakhiri karirnya di grup tersebut. Jadi, jika ada member yang memutuskan untuk keluar karena ingin fokus ke pendidikan atau alasan lainnya, ia disebut telah graduate dari JKT48.
Untuk sebuah grup yang anggotanya terus beregenerasi, masa aktif seorang idola biasanya relatif pendek. Banyak dari mereka memilih untuk “lulus” (graduate) dari grup setelah mencapai usia tertentu atau ketika popularitas mereka mulai menurun. Sistem ini memberikan ruang bagi generasi baru untuk masuk dan menjaga grup tetap segar. Pergantian anggota secara berkala juga menjaga dinamika grup tetap menarik bagi penggemar.
Sistem graduate sendiri berbeda dengan resign karena bagi member yang “lulus” dianggap “mengakhiri karir dengan baik-baik”, apalagi banyak faktor mengapa seorang member resign baik alasan yang dianggap baik maupun buruk untuk para penggemar. Hal ini pernah dibahas pada artikel ini mengenai adaptasi konsep idola Jepang di tanah air.
Garis Tipis Candaan Internal dan Masifnya Penyebaran Misinformasi
Definisi inside jokes atau candaan internal adalah istilah yang digunakan untuk mengacu pada hal lucu yang hanya dipahami oleh kelompok atau komunitas tertentu sehingga hanya mereka yang mudah relate atau nyambung. Kelompok tertentu yang memahami lelucon ini memiliki pengalaman atau pengetahuan bersama tentang letak kelucuan dari objek yang dibicarakan.
Kehadiran inside jokes kerap muncul dari momen unik hingga pengalaman yang dibagikan antar-anggota kelompok. Secara tidak langsung, istilah inside jokes secara tidak langsung memberi penegasan bahwa candaan yang sedang dibahas hanya dapat dipahami oleh internal kelompok. Itu artinya, istilah inside jokes membawa kesan eksklusivitas.
Humor bersama yang ditandai dengan inside jokes membawa kesan bahwa anggota kelompok mempunyai semacam kode rahasia dalam memahami sebuah candaan sehingga memperdalam hubungan interpersonal. Inside jokes sering diingat dengan pengalaman pribadi bersama atau kelompok sehingga membentuk komunikasi efektif dan melekat dalam ingatan.
Lalu, apa masalahnya inside jokes dengan penyebaran misinformasi yang sedang dibahas sekarang?
Dengan meluasnya jangkauan fandom grup idola Jakarta ini, semakin banyak audiens baru yang akan masuk dan mencoba mendapatkan informasi mengenai sang idola dari komunitas fanbase-nya. Yang jadi masalah adalah ketika inside jokes ini diterima oleh orang yang tidak paham kondisi dan konteks pembahasan. Hal ini bisa jadi menimbulkan kesalahpahaman sehingga audiens baru ini menganggap informasi yang mungkin hanya sepotong dari cuitan akun random atau editan iseng adalah sebuah kebenaran tanpa melakukan recheck.
Penyebaran paling masif konten misinformasi ini adalah dari media sosial Tiktok. TikTok sendiri didesain untuk konsumsi video pendek yang langsung menarik perhatian. Visual yang meyakinkan, penceritaan yang “dramatis”, dan penyajian yang emosional bisa membuat orang lebih mudah percaya tanpa berpikir kritis.
Dalam kasus konten Freya Grad, pembawaan kontennya memiliki pola yang sama, slow motion video yang dimana Freya atau member lain terlihat sedih. Slow motion-ing sebuah momen video yang secara konteks tidak ada maksud tertentu bisa dibahas sebagai sebuah hal yang dramatis hanya dengan memperlambatnya dan memakai lagu-lagu sedih.
TikTok menggunakan algoritma berbasis minat (dan Twitter/X juga melakukan hal yang sama), jadi jika seseorang pernah tertarik pada teori konspirasi atau informasi keliru, mereka akan terus disuguhi konten serupa. Ini menciptakan efek echo chamber, di mana mereka hanya melihat informasi yang mengonfirmasi keyakinan mereka. Banyak pengguna yang hanya menonton sekilas tanpa mencari sumber lain. Informasi yang viral sering kali dianggap benar hanya karena banyak yang melihat atau membagikannya.

Apa yang Didapatkan Para Penyebar Konten Misinformasi ini?
Ada beberapa kemungkinan yang bisa kita pahami dari maraknya fenomena konten misinformasi ini, meskipun hanya sebatas asumsi semata. Asumsi ini merupakan imajinasi dari kemungkinan-kemungkinan yang dibayangkan penulis.
Asumsi pertama adalah niatan untuk menjatuhkan nama baik member tersebut. Asumsi yang bisa digunakan untuk memperkirakan alasan para penyebar ataupun pembuat konten ini melakukan hal tersebut karena dengan adanya isu grad akan memunculkan spekulasi-spekulasi berlebihan, misal ketidaksetiaan pada grup atau bahkan gosip telah memiliki pasangan yang notabene melanggar golden rules.
Meskipun begitu, asumsi ini bisa dibantah karena satu hal. Graduation bukanlah sebuah aib bagi member, justru sebagai cara agar dapat dikenang baik dan memiliki momen indah bersama fans sebelum meninggalkan grup. Dari sisi penggemar pun, mereka tidak akan memandangnya sebagai sebuah hal yang hina, malah menjadikan waktu yang tersisa sebagai kenangan yang perlu dirayakan. Meskipun sedih juga merupakan hal yang lumrah sebagai ungkapan kekagetan.
Asumsi kedua adalah soal engagement dan validasi semu dunia maya. Pepatah “engagement adalah candu” sepertinya sangat tepat untuk menggambarkan situasi yang sedang kita bahas. Dengan kemenangan kecil meraih banyak atensi di media sosial, tentu hal tersebut menimbulkan rasa kepuasan sendiri, apalagi jika berasal dari latar belakang pribadi yang sering “kalah” di dunia nyata.
Meskipun begitu, jika engagement ini dikaitkan dengan validasi sosial, maka siapa yang dapat menjadi tempat menemukan validasi tersebut? Kolom komentar dan repost adalah jawabannya. Dengan munculnya komentar yang merasa relate atau bahkan menambah informasi cocoklogi yang berkelanjutan, bukan tidak mungkin ini malah makin menguatkan keyakinannya.
Ini persis dengan bagaimana orang-orang yang percaya teori konspirasi area 51 ketika makin “disiram” dengan informasi cocoklogi NASA dan fenomena-fenomena tak terjawab lain. Penulis pun pernah sepolos itu memahaminya.
Asumsi ketiga yang mungkin terjadi adalah soal uang. Jika kalian berasumsi bahwa maksud mencari pundi-pundi rupiah adalah dengan menjadi “buzzer” yang harus membuat konten untuk “mengebom” for you page, penulis pastikan hal tersebut bisa dibantah.
Jika benar ada kejadian tersebut, pertanyaannya adalah siapa bouwheer yang mau spend uang sebesar itu untuk hal yang tidak memberikan dampak apapun? Kelulusan adalah bagian dari perjalanan, bukan sebuah skandal yang bisa menjatuhkan nama baik. Kalau saja itu benar, bouwheer ini juga tidak mendapatkan apapun.
Ada temuan menarik yang bisa terjadi, yaitu skema “arisan” atau “taruhan”. Ini adalah skema di mana di kelompok tertentu, terdapat sebuah grup dan mereka mengumpulkan uang dan menentukan siapa yang mendapatkan views dan engagement paling tinggi, maka ia yang akan mendapatkan uang tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari tweet yang telah dibahas pada pembahasan studi kasus sebelumnya. Penelusuran penulis di akhir tahun lalu juga menemukan pembahasan serupa di grup Whatsapp random yang bisa didapatkan dari akun-akun Tiktok tertentu (sayangnya, dokumentasinya hilang bersamaan dengan dihapusnya akun WA yang dipakai saat itu).
Asumsi keempat berkaitan dengan fenomena Fear of Missing Out atau yang dikenal sebagai FOMO. Orang cenderung ingin ikut serta dalam tren atau diskusi viral tanpa benar-benar mengecek kebenarannya. Jika sebuah klaim terlihat mengejutkan atau kontroversial, mereka mungkin langsung membagikannya agar tidak “ketinggalan.”
Dalam teori “Social Identity Theory”, orang cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok tertentu. Mereka membagikan konten yang relate sebagai cara untuk memperkuat hubungan dengan komunitas atau kelompok sosial yang memiliki nilai yang sama.
Memudarnya Intensi Konten Misinformasi “Freya Grad”
Situasi ini mulai muncul saat Freya dengan tiba-tiba mematikan fitur “tag” di Tiktok dan membuat para pembuat konten merasa kelimpungan dan panik. Jika dilihat sekilas, hal semacam ini terlihat sangat sepele. Namun hal ini berhasil menekan peredaran konten tersebut di media sosial, khususnya Tiktok.
Kondisi di Twitter/X mungkin berbeda, karena mayoritas pengguna media sosial tersebut lebih paham soal inside jokes dan lebih dapat menyaring informasi. Mengingat peredaran informasi mengenai grup dan fandom lebih mudah didapatkan dari platform tersebut. Perdebatan yang terjadi justru soal apakah perlu edukasi para penggemar yang belum paham kultur fandom atau malah diberangus sekalian.
Sayangnya, konten dengan konsep serupa tidak sepenuhnya hilang. Konten serupa tetap ada dan merambah ke member lain. Meskipun kebanyakan sudah mulai paham mengenai misinformasi mengenai graduation atau resign-nya member.
Celebrity Worship Syndrome
Masifnya penggunaan media sosial hari ini memberikan kemudahan interaksi antara idola dan penggemar. Sehingga semakin menguatkan keterikatan emosional para penggemar dengan sang idola, bahkan merasa mengenal idolanya secara personal. Biasa dikenal sebagai hubungan parasosial.
Meski tampak wajar, perilaku tersebut bisa menjadi awal dari celebrity worship syndrome. Celebrity worship syndrome merupakan sebuah kondisi ketika seorang penggemar merasa punya keterikatan berlebihan dengan idolanya. Saking merasa terikat dengan sang idola, orang dengan sindrom ini bisa memikirkan idolanya tanpa kenal waktu.
Kejadian serupa juga dialami Oline di awal tahun 2024. Hal tersebut diawali saat Oline terpantau tidak muncul di foto member yang tampil di Prambanan Jazz 2024. Melalui private message, dia memberitahu bahwa dia mengejar waktu untuk pergi ke luar negeri, salah satunya adalah untuk melihat kampus. Dari pernyataan ini, banyak orang memiliki spekulasi bahwa dia tidak akan lama lagi di JKT48. Serta banyak member lain yang mendapatkan jenis konten serupa
Masifnya konten-konten overthinking tentang member di timeline media sosial saat ini merupakan manifestasi dari emosi beberapa orang yang teramplifikasi menjadi sebuah konten di media sosial. Memiliki perasaan dekat dengan sang idola, seseorang bisa sangat memikirkan idolanya tanpa kenal waktu. Membagikan konten yang relate bisa menjadi cara untuk mencari pengakuan atau mencari validasi dari orang lain, terutama jika mereka ingin merasa dipahami. Dengan lingkaran yang terus berputar, pada akhirnya konten-konten tersebut tersebar kemana-mana.