Meninjau Fenomena Asusila dan Perundungan Daring

Dalam Rubrik

,

ditulis oleh

Dalam dunia hiburan, hubungan antara idola dan penggemar seharusnya dibangun atas dasar apresiasi, dukungan, dan rasa saling menghargai. Namun, tidak jarang muncul fenomena di mana sebagian kecil penggemar justru memperlakukan idolanya secara tidak sehat. Hal ini juga terjadi dalam lingkup JKT48, di mana oknum fans kerap mengobjektifikasi para member, melihat mereka semata-mata sebagai figur hiburan yang harus memenuhi ekspektasi pribadi.

Fenomena ini semakin terlihat jelas di era media sosial, di mana akses terhadap kehidupan pribadi idola menjadi lebih tersorot. Beberapa penggemar merasa bahwa mereka memiliki kuasa untuk menentukan bagaimana idola mereka berpakaian, berperilaku, bahkan dengan siapa mereka boleh bergaul. Alih-alih menjadi bentuk dukungan, sikap semacam ini justru menjebak idola dalam ruang yang sempit, mengurangi kebebasan personal mereka sebagai manusia.

Objektifikasi dan sikap mengatur ini tidak hanya berpotensi merugikan kesehatan mental idola, tetapi juga menciptakan iklim fandom yang toksik. Idola yang seharusnya dihargai sebagai individu dengan hak dan pilihan hidupnya sendiri, malah dipandang sebatas “milik publik” yang harus selalu memenuhi ekspektasi tertentu. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: di mana batas antara dukungan sehat dan kontrol berlebihan dari penggemar?

Eufemisme, Akun Salkus, dan Sexual Innuendo

[WARNING!: Pembahasan ini mungkin akan menimbulkan ketidaknyamanan, jika anda tidak nyaman, silahkan skip pembahasan sub-bab ini]

Eufemisme adalah penggunaan kata atau frasa yang lebih halus dan tidak langsung untuk menggantikan istilah yang kasar, langsung, atau dianggap tabu, dengan tujuan untuk menjaga perasaan, bersikap sopan, atau menghindari ketidaknyamanan dalam komunikasi. Majas ini sering digunakan untuk topik sensitif seperti kematian, cacat fisik, atau kemiskinan, agar tidak terdengar terlalu tajam atau menyinggung.

Meli Afrodita, dalam penelitiannya yang berjudul “Kekerasan Verbal Terhadap Perempuan Di Media Sosial Tiktok: Studi Kasus “Bernadya” Dalam Perspektif Kekerasan Berbasis Gender” menjabarkan adanya sebuah pola dalam satu unggahan video Tiktok Bernadya.

Objektifikasi Tubuh Perempuan: Banyak komentar yang menyoroti penampilan fisik Bernadya tanpa relevansi dengan konten video yang diunggah. Objektifikasi ini menunjukkan bahwa perempuan di ruang digital masih sering diperlakukan sebagai objek seksual, bukan sebagai individu yang memiliki kebebasan berekspresi tanpa takut dinilai berdasarkan fisik.

Selain itu, ditemukan bahwa komentar-komentar semacam ini lebih banyak berasal dari akun anonim yang merasa memiliki kebebasan tanpa konsekuensi di dunia maya.

Penggunaan Bahasa Seksis dan Pelecehan Verbal: Komentar-komentar yang muncul kerap menggunakan bahasa seksis yang merendahkan dan melecehkan perempuan. Ungkapan seperti “b*utnadya”, “bernadya pulen”, “to**ut” merupakan refleksi dari budaya patriarki yang masih kuat. 

Komentar yang secara eksplisit mengarah pada unsur seksualitas pada konten yang sama sekali tidak relevan ini menunjukkan bahwa oknum pengguna sosial media tersebut merasa berhak lebih superior dan memiliki kuasa untuk mengomentari pihak yang dinilai lebih lemah atau inferior yang dalam kasus ini adalah perempuan.

Normalisasi Kekerasan Verbal di Media Sosial: Banyak netizen yang menganggap pelecehan verbal sebagai sesuatu yang wajar dalam interaksi di dunia maya. Beberapa komentar justru membela pelaku dengan dalih “hanya bercanda” atau “jangan terlalu baper.”

Normalisasi ini juga diperkuat dengan kurangnya penindakan dari platform media sosial terhadap komentar yang mengandung kekerasan verbal. Tidak adanya efek jera yang diberikan kepada pelaku nantinya akan memberikan pemahaman pada pelaku lain bahwa hal ini wajar dan tidak merupakan kejahatan.

Di fandom grup idola Jakarta juga pernah terjadi kasus serupa. Penulis pernah menemukan frasa “sehat” digunakan untuk mengomentari satu bagian tubuh perempuan (dalam hal ini member grup idola) di konten seorang “youtuber” yang membahas spesifik mengenai grup idola tersebut.

Frasa yang mulanya digunakan dalam live streaming mingguan mereka dan kemudian muncul di konten non-live mereka. Saat ini, sang konten kreator Youtube tersebut sudah “downfall” pasca salah seorang member speak up mengenai salah satu konten yang dianggap melecehkannya dengan menggunakan versi eksplisit dari lagu yang dibawakan Jungkook BTS feat. Latto berjudul “Seven”.

Selain itu, ada juga banyak istilah yang diperhalus di media sosial, khususnya Tiktok dan Pinterest, yang mengarah kepada percakapan/pencarian konten mesum. 

Apakah eufemisme ini berlaku di Tiktok saja? Tentu saja tidak. Ada fenomena di media sosial lain, khususnya Twitter/X, terkait bagaimana konten-konten mesum ini bertebaran. Fenomena ini dikenal fandom sebagai “Salkus”

Salkus (salah fokus) dapat diartikan sebagai sebuah kondisi dimana ada sebuah foto yang seharusnya fokus ke sebuah titik namun perhatian orang yang melihat malah menuju ke fokus lain karena adanya hal tertentu yang dianggap tabu.

Dalam konteks spesifik fandom, salkus diartikan sebagai cara melihat dari penggemar yang melihat bagian sisi tubuh lain member/idola dengan pandangan yang negatif, baik saat perform ataupun dari konten-konten fancam.

Source: https://x.com/LaeEnrich/status/722259131751464960 (Diunggah pada 19 April 2016)

Sejak dahulu, JOT beberapa kali melakukan penindakan dan peringatan mengenai akun-akun yang mengarah kepada salkus. Bahkan dalam sebuah pernyataan, ada salah satu eks-member dari generasi 2 yang hendak membawa kasus ini ke ranah hukum saat itu. Sayangnya, akun ini terus eksis dan banyak penggemar yang secara tidak langsung “memperluas” jangkauan akun-akun mesum ini.

Source: https://x.com/FJKT48_Bandung/status/472394042198618113 (Diunggah 30 Mei 2014)

Selain soal eufemisme dan akun salkus, ada juga kasus “sexual innuendo”. Ini menjadi menari karena beberapa hari lalu muncul “keributan” linimasa terkait kata-kata di sebuah kaos yang dikenakan penonton Jak-Japan Matsuri 2025.

Sexual innuendo adalah penggunaan bahasa atau sindiran yang secara tidak langsung menyiratkan makna seksual, tanpa menyatakan hal tersebut secara langsung. Istilah ini berasal dari kata Latin innuere yang berarti “mengangguk ke depan” atau “memberi isyarat”. Penggunaan innuendo seksual bisa jadi tidak pantas dan dapat dianggap sebagai bentuk pelecehan seksual, terutama jika membuat penerima merasa tidak nyaman atau terancam.

Jokes ini mengarah pada konteks abu-abu, dimana saat pelaku yang melempar jokes tersebut mendapatkan respons negatif dan menyatakan bahwa itu adalah jokes berbau mesum, pelaku akan berdalih bahwa konteks jokesnya bukan begitu.

Pada kondisi seperti ini lah, konteks dan pemilihan kata menjadi penting. Di tengah situasi fandom yang tidak memiliki reputasi baik di kalangan awam dalam konteks serupa, wajar rasanya kita melihat ada trust issue di fandom itu sendiri. Pada hakikatnya, kata itu bisa bersifat netral, namun persepsi yang dibawa oleh “messenger” juga bisa memengaruhi cara pandang kita mengartikan kalimat tersebut.

“Bergerak dan Berkeringat Bersama” merupakan kata yang biasa saja sebenarnya, apalagi kita tahu dengan segala riuh chant dan wotagei, tentu saja keringat deras membasahi badan. Namun, diksi ini bisa dipahami oleh orang lain. Kelompok tersebut memaknainya sebagaimana penjelasan di atas, namun akun yang mengirim foto kaso tersebut menangkapnya dengan persepsi cabul. Karena yang menaikkan masalah tersebut membawanya dengan persepsi cabul, bisa jadi memang banyak orang menangkap pesan serupa. Apakah salah? Belum tentu.

Selain fans, ada sebuah konten dari JKT48 sendiri yang membawa konteks innuendo ini saat Lana, member yang on frame, membawa seekor burung. Cuplikannya bisa dilihat dari twit di atas, meskipun saat ini bagian tersebut telah dihapus di video aslinya.

Mengapa jokes semacam ini berbahaya? Pertama, karena sexual innuendo sering kali bersifat melecehkan dan dapat menciptakan rasa tidak aman bagi orang yang menjadi target atau pendengarnya. Apalagi dengan bermain dengan ambiguitas yang dapat memicu perdebatan karena perbedaan persepsi.

Apa yang dianggap lucu oleh satu orang bisa terasa mengganggu atau bahkan menyakitkan bagi orang lain. Selain itu, lelucon seksual dapat memperkuat budaya seksisme, objektifikasi, serta normalisasi pelecehan verbal dalam lingkungan sosial maupun profesional.

Hate Comment dan Cyberbullying (Studi Kasus: Chelsea JKT48)

Cyberbullying adalah perundungan atau pelecehan yang dilakukan menggunakan teknologi digital seperti media sosial, aplikasi pesan, atau platform game, dengan tujuan untuk menakut-nakuti, mempermalukan, membuat marah, atau melukai korban. Tindakan ini bisa berupa menyebarkan kebohongan atau foto memalukan, mengirim ancaman, mengucilkan seseorang dalam grup daring, atau mencemarkan nama baik melalui media elektronik.

Sebagai figur publik, para anggota JKT48 tak luput dari sorotan masyarakat, baik di dunia nyata maupun maya. Sayangnya, tidak semua perhatian yang mereka terima itu positif. Di balik gemerlap panggung dan riuh tepuk tangan, mereka juga sering kali menjadi korban cyberbullying. Fenomena ini menjadi isu serius yang tidak hanya mengancam kesehatan mental mereka, tetapi juga mencoreng citra industri hiburan Tanah Air. Kata-kata kasar, komentar jahat, hingga ancaman yang dilayangkan di media sosial telah menjadi bagian dari realitas pahit yang harus mereka hadapi setiap hari.

Dengan popularitas mereka yang masif, komentar negatif dapat dengan cepat menyebar luas, menciptakan lingkungan digital yang toxic. Hal ini sering kali berakar dari ketidakpuasan penggemar atau bahkan tindakan iseng dari oknum yang tidak bertanggung jawab. Dampak dari serangan digital ini sangat nyata. Selain merusak citra mereka, cyberbullying juga dapat memicu kecemasan, depresi, hingga trauma mendalam pada korban.

Pada pembahasan ini, penulis akan menggunakan contoh kasus cyberbullying yang dialami oleh Chelsea Davina dengan konten video Tiktok dimana dia bermain gitarnya pada Agustus 2024 lalu.

Saat itu, sebuah akun X @capekbgtakutu menuliskan bahwa Chelsea JKT48 telah mencuri sound gitar milik temannya. Hal ini diketahui setelah ia melihat video tersebut dan dinilai sama persis dengan suara gitar temannya.

“Tolong viralkan, guys. Chelsea JKT48 mencuri sound gitar milik orang lain (temanku) tapi dia mengklaim ngulik sendiri. Temanku tiba-tiba melihat video Chelsea bermain gitar Rapsodi, tetapi suaranya persis seperti suara gitar temanku,” tulis @capekbgtakutu.

Unggahan itu menjadi viral dan netizen mulai ramai membicarakan. Mengetahui kehebohan videonya yang dianggap mencuri sound gitar orang lain, Chelsea JKT48 lantas memberikan klarifikasi via akun X @DC_ChelseaJKT48.

Sedangkan akun @capekbgtakutu sudah melakukan take down atas unggahan sebelumnya yang menyatakan Chelsea JKT48 telah mencuri sound gitar milik temannya.

“Halo guys, berhubung chelsea sudah minta maaf dan klarifikasi. Aku izin takedown thread ku ya😊🙏🏻 terimakasih chelsea sudah klarifikasi🙏🏻,” tulis @capekbgtakutu pada Sabtu, 10 Agustus 2024.

Masalah soal lipsync saat bermain gitar ini sangat layak untuk dikritisi, apalagi anak muda yang ingin mencoba menunjukkan kemampuan yang dia punya. Namun sudah sangat banyak temuan komentar yang cenderung merendahkan atau bahkan melecehkan.

Catatan Kecil Untuk Kita

Yang perlu dicatat sebagai penggemar adalah bagaimana kita mengelola kritik kepada idola. Perbedaan antara kritik dan bullying sangatlah penting. Kritik yang membangun biasanya bersifat objektif, fokus pada hasil kerja atau perilaku, dan disampaikan dengan tujuan untuk memberikan masukan agar ada perbaikan. Kritik disampaikan dengan cara yang sopan dan profesional, serta tidak menyerang pribadi seseorang.

Sebaliknya, bullying adalah serangan pribadi yang ditujukan untuk merendahkan, menghina, atau bahkan mengancam. Kata-kata yang digunakan dalam bullying sering kali kasar, berulang-ulang, dan menciptakan lingkungan yang toksik. Tujuannya bukan untuk membangun, melainkan untuk melukai dan menjatuhkan mental korban.

Pada artikel “Fandom Magnet Engagement”, penulis menjelaskan bahwa representasi awam dalam melihat fandom ini adalah apa yang akan sering mereka temui, belum lagi dengan adanya negativity bias akan menjadikan sorotan awam akan lebih tertuju pada konteks-konteks negatif dan memalukan ketimbang sisi positif. 

Kita perlu berbenah melawan segala stigma, khususnya terkait dengan konten mesum dan cabul, tentu dengan strategi dan gerilya khusus agar hasil yang didapatkan lebih optimal. Cara terang-terangan tentu membuat “mereka” bisa bersembunyi dengan playbook deactivate akun dan mengaktifkannya lagi setelah reda.

Sikap kita terhadap orang yang disayangi (dalam konteks ini adalah sang idola) juga mencerminkan bagaimana kita bersikap kepada orang lain. Jangan sampai pikiran cabul yang termanifestasi dalam tindak tanduk di komentar atau akun salkus, ataupun juga percakapan internal itu malah merembet ke orang lain. Misalkan sesama penggemar yang perempuan atau sebaliknya.

Begitupun upaya untuk menghentikan cyberbullying memang tidak bisa dilakukan dalam semalam. Butuh kesadaran kolektif untuk mengubah perilaku dan narasi yang ada di media sosial. Semoga dengan semakin banyaknya diskusi dan kesadaran tentang isu ini, kita dapat memastikan bahwa ruang maya tidak lagi menjadi tempat yang menakutkan bagi para idola.

Alih-alih menyebarkan kebencian, mari kita sebarkan dukungan dan energi positif, agar para figur publik bisa terus berkarya tanpa harus merasa terancam di dunia digital. Ini soal perang bersama untuk mewujudkan internet sehat, bukan hanya sebatas lingkup fandom. Jangan sampai kita dengan mudah terjun berperang tanpa kalkulasi. Mungkin upaya yang diperjuangkan ini belum sempurna, setidaknya ini menunjukkan keberpihakan kita atas martabat dan hak asasi semua orang.